Jumat 11 Jun 2021 13:20 WIB

Sri Mulyani: Dampak Perubahan Iklim Sedahsyat Covid-19

Semua negara meneken Paris Agreement untuk menurunkan emisi karbon.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan, Sri Mulyani
Foto: BNPB Indonesia
Menteri Keuangan, Sri Mulyani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah mengingatkan agar masyarakat tak luput waspada terhadap bahaya lain di luar Covid-19, yakni pemanasan global dan perubahan iklim atau climate change. Hal ini mengingat semua negara harus berkontribusi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dampak dari perubahan iklim akan sangat dahsyat. “Saat ini dunia dihadapkan pada ancaman yang katastropiknya, dampaknya, konsekuensinya yaitu climate change. Kita sudah melihat berbagai studi menunjukkan dampak dari climate change itu akan sangat dahsyat,” ujarnya saat webinar Climate Change Challenge yang diselenggarakan Universitas Indonesia (UI), Jumat (11/6).

Sri Mulyani mencontohkan dampak dari perubahan iklim yang telah terjadi berbagai dunia seperti mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan serta perubahan iklim berupa kekeringan maupun hujan yang berkepanjangan. Jika merujuk pada laporan yang digunakan sebagai referensi dalam pertemuan perubahan iklim dunia, saat ini suhu dunia 1,1 derajat celcius lebih hangat dibandingkan masa pra-industrialisasi.

Berdasarkan kajian tersebut, lanjut Sri Mulyani, semua negara melaksanakan Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi karbon, dunia tidak akan terhindar dari kenaikan suhu.

 

“Dunia akan tetap meningkat suhunya menjadi 3,2 derajat celcius dibandingkan pra-industri pada 2030. Ini berarti akan melewati batas yang oleh para ahli disebutkan kenaikan suhu maksimal yang bisa ditahan bumi yaitu 1,5 hingga dua derajat celcius,” ungkapnya.

Menurutnya isu perubahan iklim  selalu dibahas dalam berbagai pertemuan internasional. Sri Mulyani menilai masyarakat di berbagai belahan dunia kerap melihat fenomena alam yang cukup catastrophical.

Hal itu terlihat dari mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, hingga frekuensi hujan terus menerus dan sulit diprediksi di negara tropis seperti Indonesia.

"Seluruh negara mengalami perubahan iklim yang bisa menyebabkan kekeringan berkepanjangan, atau hujan yang terus menerus seperti yang kita alami 18 bulan terakhir ini," ucapnya.

Berkaca pada pandemi Covid-19, Sri Mulyani menyebut semua negara bahkan yang paling maju pun ternyata tidak siap menghadapi bencana tersebut. Imbasnya, jutaan korban berjatuhan dan ekonomi terdampak begitu dahsyat.

"Dampak konsekuensinya pada APBN juga begitu dahsyat. Ini sekarang kita dihadapkan less than one decade, kurang dari 10 tahun dunia akan dihadapkan pada another catastrophical challenge yaitu climate change," ucapnya.

Sri Mulyani mengutarakan Indonesia sebagai negara kepulauan juga memberikan konsekuensi yang luar biasa. Sebab, imbas dari pemanasan global, es di Kutub Utara dan Kutub Selatan yang mencair akan cukup meningkatkan permukaan laut di seluruh dunia.

"Artinya untuk Indonesia sebagai negara kepulauan dampaknya akan sangat konsekuensial," tegasnya.

Maka itu dia lantas mengambil pelajaran jika musibah besar berskala global harus diatasi bersama-sama. Dalam hal ini, dia menyoroti pendistribusian vaksin Covid-19 yang mulai dilakukan negara maju agar membantu negara tak mampu di belahan dunia lain.

"Climate change juga sama. Dia tidak pandang bulu, semua negara akan dihadapkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu semua negara akan ikut berkontribusi, meskipun kita semua paham konsekuensi dari climate change itu tidak merata," ucapnya.

Sri Mulyani juga menekankan pentingnya kontribusi dan komitmen seluruh negara untuk menurunkan emisi karbon.

“Perlu target yang lebih ambisius. Kita terus melakukan keselarasan kebijakan-kebijakan untuk mencapai komitmen (Paris) tersebut atau bahkan lebih ambisius,” ucapnya.

Sri Mulyani menyampaikan Indonesia sebagai negara yang besar diminta berperan aktif di dunia internasional dalam meminta komitmen negara-negara tetangga dan negara-negara maju dalam memenuhi konsekuensi sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan transformasi dari high carbon menjadi low carbon atau bahkan zero carbon emission.

Menurutnya beberapa sektor memiliki peranan penting seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui deforestasi yang telah membuahkan hasil positif dengan mendapatkan dana kompensasi dari penurunan CO2 dari deforestasi, termasuk juga pekerjaan rumah bidang energi terbarukan dengan target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.

Adapun isu lingkungan hidup termasuk di dalamnya mengenai penurunan emisi karbon dan komitmen Perjanjian Paris merupakan agenda prioritas nomor enam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement