Jumat 11 Jun 2021 08:16 WIB

Sri Mulyani Sayangkan Kegaduhan Pajak Sembako

Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Warga membeli kebutuhan pokok di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021).  Pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Foto: RAISAN AL FARISI/ANTARA
Warga membeli kebutuhan pokok di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021). Pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Ketentuan PPN sembako ini telah diterbitkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah saat ini masih tetap fokus untuk memulihkan ekonomi. Hal ini menyusul tersebarnya Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang baru dikirimkan kepada pihak DPR, sehingga belum dibahas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan adanya kegaduhan di tengah masyarakat mengenai isu pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang dan jasa. "Di-blow up seolah-olah tidak memperhatikan situasi sekarang. Kita betul-betul menggunakan instrumen APBN karena memang tujuan kita pemulihan ekonomi dari sisi demand side dan supply side,"  ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR seperti dikutip Jumat (11/6).

Menurutnya RUU KUP tersebar ke publik dengan aspek-aspek yang terpotong dan tidak secara utuh, sehingga menyebabkan kondisi menjadi kikuk. "Situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, yang keluar sepotong-sepotong," ucapnya.

Meski demikian, dia menuturkan pemerintah masih belum bisa menjelaskan secara detail mengenai isu ini karena dari sisi etika politik memang belum ada pembahasan dengan DPR. "Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden," ucapnya.

Dia menjelaskan RUU KUP dibacakan terlebih dahulu dalam sidang paripurna yang kemudian akan dibahas bersama Komisi XI DPR terkait seluruh aspeknya mulai dari waktu hingga target pengenaan pajak.

"Itu semua kita bawakan dan akan kita presentasikan secara lengkap by sector, by pelaku ekonomi, kenapa kita menurunkan pasal itu, background-nya seperti apa. Itu semua nanti kami ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI," jelasnya.

Maka itu Sri Mulyani memastikan saat ini pemerintah masih terus memetakan dampak-dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat termasuk para pengusaha UMKM. Hal tersebut sejalan dengan kesepakatan pemerintah untuk menyehatkan kembali APBN dengan tetap menjaga momentum pemulihan, seiring pembangunan pondasi ekonomi dan perpajakan agar tetap kuat ke depannya.

"Sampai hari ini kita juga sudah diminta memikirkan UMKM yang bangkitnya lebih lambat. Jadi fokus kita adalah memulihkan ekonomi," katanya.

Sri Mulyani pun meminta maaf kepada Komisi XI DPR RI atas beredarnya RUU KUP pada masyarakat. Pemerintah tidak bermaksud untuk melangkahi DPR.

"Tentu saya juga meminta maaf karena pasti semua dari Komisi XI sebagai partner kami kenapa ada policy seolah-olah itu sudah naik padahal tidak," katanya.

Sri Mulyani mengaku siap membahas sekaligus menjelaskan kepada DPR mengenai revisi perpajakan. Adapun revisi perpajakan sendiri masuk di dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

"Nah ini yang ingin kita nanti akan dijelaskan pada saat kita membahas RUU KUP dengan komisi XI DPR," tegasnya.

Pembahasan RUU KUP sendiri tergantung nanti dengan pimpinan DPR pada saat penutupan masa sidang Paripurna. Kemudian akan dibahas secara bersama-sama oleh Komisi XI DPR.

"Nanti kita bisa melihat secara keseluruhannya dan di situ kita bisa bahas mengenai apakah timing-nya harus sekarang? Apakah pondasinya harus seperti ini?," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement