Kamis 10 Jun 2021 23:50 WIB

Asia Sambut Baik Rencana Donasi Vaksin Covid-19 dari AS

Para ahli mengatakan sumbangan vaksin saja tak cukup untuk mengatasi kesenjangan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Seorang petugas kesehatan bersiap untuk memberikan vaksin COVID-19 Pfizer untuk penyakit coronavirus (COVID-19) di pusat vaksinasi di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin, 31 Mei 2021
Foto: AP/Vincent Thian
Seorang petugas kesehatan bersiap untuk memberikan vaksin COVID-19 Pfizer untuk penyakit coronavirus (COVID-19) di pusat vaksinasi di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin, 31 Mei 2021

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL - Pejabat kesehatan dan pakar di Asia menyambut baik rencana Amerika Serikat (AS) membagikan 500 juta dosis vaksin Pfizer kepada negara berkembang. Namun beberapa pakar juga mengatakan dibutuhkan lebih dari sekadar donasi untuk mengatasi kesenjangan vaksinasi besar yang mengancam ini.

Presiden Joe Biden membuat pengumuman Kamis (10/6) dalam pidatonya sebelum dimulainya KTT Kelompok Tujuh (G7) di Inggris. Menurut pernyataan Gedung Putih, dua ratus juta dosis, atau cukup untuk sepenuhnya melindungi 100 juta orang akan diberikan tahun ini. Sisanya disumbangkan pada paruh pertama tahun 2022.

Baca Juga

Profesor kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Gachon Korea Selatan (Korsel), Jaehun Jung, mengatakan donasi AS bisa jadi titik balik terbesar dalam perang global melawan pandemi. Namun juga menyesalkan bahwa bantuan ini belum datang lebih awal.

Dia mengatakan suhu penyimpanan yang sangat dingin yang diperlukan bagi vaksin Pfizer juga akan menghadirkan tantangan bagi negara-negara dengan sistem dan infrastruktur kesehatan yang buruk. Karena itu dia meminta pejabat AS dan pembuat obat untuk membantu negara-negara tersebut mengatasi tantangan ini.

Karena kekhawatiran ini, banyak vaksin yang saat ini digunakan di negara berkembang adalah vaksin yang memiliki persyaratan penyimpanan yang lebih sederhana seperti milik AstraZeneca. Ketika negara-negara kaya bergegas memvaksinasi populasi mereka yang luas, ketidaksetaraan dalam pasokan vaksin di seluruh dunia menjadi lebih jelas.

Kondisi ini bisa dilihat dari beberapa negara miskin yang belum memberikan dosis tunggal. Pada saat yang sama, ada kekhawatiran yang meningkat atas varian virus baru yang muncul dari daerah dengan sirkulasi Covid-19 yang tinggi secara konsisten.

AS dan beberapa negara maju lainnya menghadapi tekanan yang meningkat untuk berbuat lebih banyak. Jung menjelaskan penundaan bantuan AS masih dapat dimengerti. Namun untuk saat ini, sangat penting untuk meningkatkan waktu penyediaan vaksin ke titik sedini mungkin.

Di Asia, Jung mengatakan India dan Asia Tenggara sangat membutuhkan sumbangan. Memvaksinasi Korea Utara yang terisolasi juga bisa menjadi tantangan yang sulit.

Mungkin karena banyak rincian rencana donasi yang belum jelas, juru bicara Indonesia untuk program vaksinasi Covid-19 mengatakan negara akan mengambil pendekatan menunggu dan melihat. "Kami akan menunggu dari COVAX. Jika ada vaksin baru, COVAX akan menawarkan dan mendistribusikan ke negara-negara tersebut," kata Siti Nadia Tarmizi.

Pemerintahan Biden berencana untuk memberikan 500 juta dosis yang dibelinya dari Pfizer ke 92 negara berpenghasilan rendah dan Uni Afrika selama tahun depan. Sumbangan diberikan melalui program COVAX yang didukung PBB. Pfizer mengatakan dosis itu adalah bagian dari janji sebelumnya, dengan mitranya BioNTech, untuk menyediakan dua miliar dosis ke negara-negara berkembang selama 18 bulan ke depan.

Kepala dari International Vaccine Institute, sebuah organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk menyediakan vaksin bagi negara-negara berkembang, Jerome Kim menilai sumbangan tambahan dari vaksin Pfizer sangat penting karena perbedaan global dalam vaksinasi telah menjadi ancaman multidimensi. Seperti, bencana manusia, kerugian ekonomi lima triliun dolar AS untuk ekonomi maju, dan kontributor generasi virus mutan.

Beberapa ahli mengatakan sumbangan saja tidak akan cukup untuk menutup kesenjangan besar dalam pasokan. Mereka pun menyerukan untuk memungkinkan perusahaan yang memenuhi syarat di seluruh dunia memproduksi vaksin tanpa kendala kekayaan intelektual.

AS dan beberapa pemimpin dunia lainnya telah mendukung penangguhan perlindungan IP pada vaksin. Namun Jung mencatat banyak negara berkembang tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin canggih seperti suntikan mRNA Pfizer dan karenanya tidak akan dapat mengambil keuntungan dari tindakan tersebut.

Ketika negara-negara di seluruh dunia berjuang untuk mengakses vaksin ataupun tidak dapat mengamankan kesepakatan bilateral dengan perusahaan seperti Pfizer, banyak yang beralih ke China. China telah mengekspor 350 juta dosis vaksinnya ke puluhan negara.

China juga telah menjanjikan 10 juta dosis untuk COVAX. Sementara pembuat obat China, Sinopharm, mengatakan pekan lalu pihaknya baru saja menyelesaikan sejumlah vaksin.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement