Kamis 10 Jun 2021 13:06 WIB

Anak-Anak Gaza Mengalami Trauma Akibat Pengeboman Israel

Serangan Israel merusak kesehatan mental anak-anak Palestina

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
 Serang anak mengibarkan Palestina berdiri di atas reruntuhan gedung Al Jalaa yang hancur oleh serangan udara Israel, Gaza, Jumat (21/5) waktu setempat.
Foto: AP/John Minchillo
Serang anak mengibarkan Palestina berdiri di atas reruntuhan gedung Al Jalaa yang hancur oleh serangan udara Israel, Gaza, Jumat (21/5) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Mohammad Alaf tidak bisa melupakan momen ketika sebuah rudal menghantam dekat rumahnya di Kota Gaza, selama pengeboman oleh Israel atas wilayah Palestina bulan lalu. Ayah lima anak ini ingat, suara ledakan telah membuat putrinya yang berusia 6 tahun panik total.

“Saya merasa jantungnya akan berhenti. Dia benar-benar merasa ketakutan,” kata Alaf dilansir Anadolu Agency, Kamis (10/6).

Baca Juga

Keesokan harinya, putri Alaf menjadi sangat pendiam dan kerap menyendiri. Alaf mengatakan, putrinya tidak bisa tidur selama lebih dari 24 jam.

"Dia mengalami trauma dan tidak bisa tidur lebih dari 24 jam. Apakah ini yang ingin dicapai Israel?," ujar Alaf.

Sedikitnya 260 warga Palestina tewas dan ribuan terluka dalam serangan udara Israel yang berlangsung selama 11 hari di Jalur Gaza pada 10 Mei. Sebanyak 66 anak-anak dan 39 perempuan termasuk di antara mereka yang tewas dalam serangan itu. Di sisi lain, 13 warga Israel juga tewas oleh tembakan roket Palestina dari Jalur Gaza.

Pertempuran itu menjadi yang paling sengit dalam beberapa tahun terakhir. Serangan bermula ketika pengadilan Israel memutuskan untuk mengusir delapan keluarga Palestina dari rumah mereka di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur yang diduduki. Kerusuhan meluas hingga pasukan Israel melakukan kekerasan terhadap Muslim Palestina yang sedang melakukan ibadah di masjid al-Aqsa pada bulan ramadan.

Alaf memiliki lima anak yang berusia antara 3 dan 15 tahun. Alaf mengatakan, anak-anaknya telah menjalani hari-hari dalam ketakutan. Mereka terus bertanya tentang apa yang akan terjadi pada kerabat dan teman mereka, jika terjadi serangan Israel di daerah tempat tinggalnya.

“Mereka bertanya kepada saya apa yang akan terjadi pada anak-anak yang tinggal di gedung-gedung ini, atau apakah pesawat-pesawat tempur akan mengebom rumah kami,” kata Alaf.

“Pertanyaan mereka menunjukkan betapa mereka takut dibunuh di bawah reruntuhan rumah mereka. Sayangnya, saya tidak memiliki jawaban tentang pertanyaan mereka," ujar Alaf menambahkan.

Untuk meredakan kepanikan mereka, Alaf melibatkan anak-anaknya dalam berbagai kegiatan seperti menggambar, menyanyi, mendongeng, dan melakukan permainan. Hal ini sebagai upaya untuk meyakinkan bahwa mereka dalam keadaan aman.

Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata pada 21 Mei, yang ditengahi oleh Mesir. Ketika serangan udara Israel berhenti kelima anak Alaf meminta untuk pergi ke luar rumah.

“Ketika kami melewati jalan Al-Wehda di mana lebih dari 40 orang Palestina terbunuh oleh rudal Israel, mereka melihat apa yang mereka bayangkan. Mereka berdiri menangis di depan reruntuhan,” kenang Alaf.

Hingga saat ini, anak-anak Alaf masih mengalami mimpi buruk dan panik apabila mendengar suara keras di luar ruangan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement