Rabu 09 Jun 2021 17:15 WIB

Utusan HAM PBB Ingatkan Risiko Kelaparan di Kayah Myanmar

Negara bagian Kayah, Myanmar dapat mengalami risiko kelaparan akibat kudeta militer

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Demonstran memegang plakat yang menyerukan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil tindakan, selama protes melawan kudeta militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, 22 Februari 2021. Bisnis ditutup dan ribuan demonstran anti-kudeta turun ke jalan untuk pemogokan umum nasional yang dijuluki Pemberontakan 22222 atau Lima Dua, mengacu pada tanggal, 22 Februari 2021, meskipun junta militer memperingatkan tentang kekuatan yang mematikan.
Foto: EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Demonstran memegang plakat yang menyerukan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil tindakan, selama protes melawan kudeta militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, 22 Februari 2021. Bisnis ditutup dan ribuan demonstran anti-kudeta turun ke jalan untuk pemogokan umum nasional yang dijuluki Pemberontakan 22222 atau Lima Dua, mengacu pada tanggal, 22 Februari 2021, meskipun junta militer memperingatkan tentang kekuatan yang mematikan.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW - Negara bagian Kayah, Myanmar dapat mengalami risiko kelaparan dan kehilangan nyawa manusia "besar-besaran" lebih dari yang dibayangkan sejak militer merebut kekuasaan. Demikian kata seorang utusan hak asasi manusia (HAM) PBB, Rabu (9/6).

Utusan PBB itu memperingatkan risiko kelaparan yang dapat terjadi di Kayah. Lebih dari 100.000 orang melarikan diri dari rumah mereka untuk menghindari konflik.

Baca Juga

Militer Myanmar telah berjuang di berbagai bidang untuk menegakkan ketertiban sejak kudeta yang dilakukannya pada 1 Februari terhadap Aung San Suu Kyi dan pemerintah terpilih Myanmar, di mana hal itu telah memicu protes nasional. Negara Bagian Kayah, yang berbatasan dengan Thailand, adalah salah satu dari beberapa wilayah di mana relawan Pasukan Pertahanan Rakyat telah bentrok dengan tentara Myanmar yang diperlengkapi dengan baik.

Tentara Myanmar merespons bentrokan dengan artileri dan serangan udara sehingga memicu eksodus masyarakat ke hutan-hutan terdekat. "Serangan brutal junta tanpa pandang bulu mengancam kehidupan ribuan pria, wanita, dan anak-anak di negara bagian Kayah," kata Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar.

"Biarkan saya berterus terang. Kematian massal karena kelaparan, penyakit, dan tidak adanya tempat perlindungan, dalam skala yang belum pernah kami lihat sejak kudeta 1 Februari, bisa terjadi di negara bagian Kayah tanpa tindakan (bantuan) segera," ujarnya.

Seorang aktivis di negara bagian Kayah mengatakan bahwa banyak pengungsi tidak dapat dijangkau termasuk di daerah timur kota Demoso, sekitar 15 kilometer dari ibu kota negara bagian itu, Loikaw. "Beberapa orang di sebelah timur Demoso harus bertahan hidup dengan kuah beras karena kami tidak bisa mengantarkan beras karung kepada mereka," terang aktivis itu yang meminta namanya tidak disebutkan.

Dia mengatakan otoritas militer dalam dua pekan terakhir telah menangkap tiga orang yang mencoba memberikan bantuan. Listrik juga telah terputus di banyak daerah dan, bersama dengan makanan, bahan-bahan untuk mendirikan tempat tinggal dan bensin juga sangat dibutuhkan, kata aktivis itu.

Dia pun menyerukan pentingnya pemberian bantuan internasional yang mendesak. Seorang juru bicara junta tidak segera menanggapi panggilan telepon untuk permintaan komentar.

Thailand, yang mengkhawatirkan banjir pengungsi dari Myanmar, telah menyatakan keprihatinannya tentang pertempuran di Myanmar dan mendesak junta untuk mengambil langkah-langkah yang disepakati dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik.

Namun, junta tidak terlalu mengindahkan tuntutan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk menghormati "konsensus" yang disepakati pada akhir April 2021 untuk mengakhiri kekerasan dan mengadakan pembicaraan politik dengan lawan-lawannya. Sebuah kelompok HAM mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 857 pengunjuk rasa sejak kudeta, tapi tentara membantah angka itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement