Rabu 09 Jun 2021 11:48 WIB

The EndGame, Dokumenter Mereka yang Disingkirkan dari KPK

TWK yang tak meluluskan 75 pegawai menjadi ronde terakhir episode pelemahan KPK.

Poster film dokumenter The EndGame.
Foto: Watchdoc
Poster film dokumenter The EndGame.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belumlah usai. Puluhan pegawai KPK yang merasa tersingkirkan lewat TWK masih terus berjuang menentang kebijakan pimpinan KPK yang mereka anggap 'janggal dan tidak relevan' itu.

Baca Juga

Sebagaimana diketahui, TWK merupakan buntut dari revisi UU KPK pada 2019 yang mengharuskan pegawai KPK beralih status menjadi aparatur sipil nasional (ASN). Namun, alih-alih langsung mengalihstatuskan semua pegawainya menjadi ASN, pimpinan KPK lewat peraturannya kemudian mewajibkan kelulusan TWK sebagi syarat alih status.

Hasilnya, dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti TWK, sebanyak 75 pegawai dianggap tidak memenuhi syarat untuk lulus tes. Di antara mereka yang tidak lulus adalah para penyidik dan pejabat senior KPK yang selama ini dikenal berprestasi, seperti penyidik Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid.

Ketidakadilan yang dirasakan oleh 75 pegawai KPK itu terekam secara jelas dalam film dokumenter KPK, The EndGame. Film garapan Watchdoc yang mulai akhir pekan lalu diputar serentak di seluruh Indonesia itu merekam pengakuan 16 sosok penuh komitmen dan integritas yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.

Sayangnya, berpegang teguh dengan nilai integritas tidak menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa lulus TWK. Salah satunya, yakni sang raja operasi tangkap tangan (OTT), Harun Al-Rasyid.

Bergabung dengan KPK sejak 2005, ia mengaku menemukan panggilan hati sebagai penyelidik karena menyadari korupsi merupakan persoalan bangsa yang utama. Dijuluki sebagai raja OTT karena pada 2018, Harun pernah memimpin 12 dari total 29 operasi penangkapan dalam setahun.

”Dan di KPK, saya bisa berbuat banyak. Menangkap gubernur, bupati, menteri, wakil rakyat yang ingin mengambil banyak uang negara dan menangkap politikus nakal. Saya merasa, di sini sumbangsih saya ke negara,” ujar Harun.

Dukungan terus berjuang dalam memberantas korupsi pun ia dapat dari keluarga. Meskipun ia sempat berada di titik terendah saat sang ibu memintanya untuk berbuat yang tidak sesuai dengan prinsipnya.

Saat itu, sang ibu memintanya agar bisa membantu sang adik dalam mendapatkan pekerjaan. Diketahui, adik bungsu dari Harun merupakan lulusan terbaik dari salah satu universitas negeri ternama di Indonesia, tetapi usai lulus bersekolah, sang adik belum mendapatkan pekerjaan.

"Ibu sampai bilang, nak tolong perhatikan adikmu. Masak selama ini (kamu) tidak punya kawan," ujar Harun menirukan kalimat sang Ibu.

Ibunda Harun bahkan membandingkan dirinya dengan tetangganya yang memberikan suap agar bisa diterima sebagai pegawai honorer. "Ibu bilang anak tetangga untuk jadi pegawai honorer bayar  Rp 50 juta," kata Harun.

"Saya sampai menyembah-nyembah ke ibu saya bahwa saya sudah berjanji ke negara memberantas seperti itu (tindak pidana suap)," ujar Harun menambahkan.

Namun, lambat laun sang ibu mengerti dengan pekerjaan yang diemban oleh putranya. "Saat ini ibu, sudah mengerti dan pada tahap tidak bakal memberikan nomor telepon saya bila ada saudara atau kerabat yang menanyakan nomor saya kepadanya," ungkpanya.

"Ini yang buat saya mendapat semangat dari keluarga dan orang tua," kata Harun menambahkan.

Sayangnya, nilai integritas yang dimiliki Harun justru membuatnya tersingkir dari KPK. Ia menjadi bagian dari 51 pegawai yang dilabeli 'merah' dan dinilai tidak bisa lagi dibina berdasarkan hasil asesmen TWK.

Padahal, Harun mengaku masih ingin menuntaskan pekerjaannya yang belum selesai. Bagi Harun, pekerjaan yang dijalaninya selama ini bagian dari ibadah. Meski ia menyadari tugas merupakannya tak mudah dan penuh risiko, perjuangannya adalah tugas mulia agar masyarakat Indonesia menjadi makmur dan adil.

"Integritas tak ada di pasar, integritas lahir dari pribadi, tidak ada kata bersahabat atau bersekongkol dengan segala bentuk kejahatan," ujar Harun.

 

 

Pegawai KPK lainnya yang juga tak lolos adalah Benydictus Siumlala Martin Sumarno. Pria yang akrab dipanggil Beny itu masuk ke KPK pada 2017 melalui program Indonesia Memanggil.

Sebelum menjadi pegawai KPK, Beny sudah berkecimpung terlebih dahulu di dunia pendidikan. "Saya pernah jadi guru (sebelum masuk KPK), lalu saya dapat WhatsApp dari kakak  saya  tentang lowongan Indonesia Memanggil 11, yang akhirnya saya ikut dalam tesnya," ujar Beny.

Salah satu alasannya bergabung karena melihat nama besar KPK yang memiliki rekam jejak sebagai lembaga yang bersih dan berintegritas. Saat itu, ia juga mengagumi para penyidik maupun penyelidik KPK yang tak gentar dalam memberantas korupsi.

Apalagi, saat itu KPK membuka lowongan untuk posisi fungsional pendidikan masyarakat. Hingga sebelum disingkirkan, Beny bekerja di Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat.

"Saya bangga menjadi bagian dari KPK. Selama ini pun saya bekerja bersama dengan para senior yang memiliki integritas dan kinerja jelas. Apalagi, ketika mendatangi beberapa daerah, saya melihat masyarakat sangat mencintai KPK," ujar Beny

Di sisi lain, Beny juga merasa miris melihat korupsi sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat, terutama pada masyarakat kalangan bawah. Beny mengaku sangat sedih jika harus meninggalkan KPK.

Sebab, menurut dia, jarang sekali ada tempat berkarya seperti KPK yang selalu mengutamakan kejujuran dan menjaga integritas. Bagi Beny, bekerja di KPK tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi sesuatu untuk orang lain. Bekerja di KPK memiliki pengaruh yang sangat besar dan berguna bagi orang lain.

Perihal asesmen TWK, Beny mengaku merasa janggal dalam setiap prosesnya. Mulai dari pertanyaan yang sangat tidak masuk akal, hingga para pewawancara yang seolah menutup diri dan sengaja bersikap misterius. Soal yang ia kerjakan tidak bertuliskan TWK, tetapi soal dengan judul Indeks Moderasi Bernegara.

"Ketika masuk dalam ruang wawancara pun saya melihat tidak ada alat rekam, tidak tahu juga kalau ada yang disembunyikan," kata Beny.

Kejanggalan yang sama pun dialami oleh Rieswin Rachweell. Sehari sebelum menjalani TWK, rumah orang tuanya yang berada di luar Pulau Jawa sempat didatangi orang yang tidak dikenal.

"Kejadian aneh sebelum tes, rumah saya didatangi orang tidak dikenal, mengaku dari Kementerian, ngomong ke ibu saya, padahal rumah saya di suatu pulau yang harus naik pesawat," kata Rieswin.

Menjadi seorang pegawai KPK sebenarnya tak pernah terlintas oleh Rieswin. Dengan latar belakang disiplin ilmu teknik sipil, Rieswin akhirnya memberanikan diri mencoba bergabung dengan KPK pada 2017. Ia lalu dipercaya bertugas sebagai penyelidik.

"Dulu saya bekerja untuk uang. Setelah berada di KPK, saya merasa ada untuk negara, ada kepuasan sendiri, ada manfaat secara luas, ada pengaruh pada masyarakat sehingga bersemangat," kata Rieswin.

Ia sangat bangga dengan pekerjaannya. Apalagi, menurut dia, sebelum 2019 tidak ada yang bermain kasus dan tidak ada intervensi di KPK. Sayangnya, setelah 2019 ada beberapa kali kasus bocor dan dihambat. Ia mengalami sendiri adanya kasus yang bocor dan dihambat itu.

Kebocoran informasi di KPK dibenarkan oleh Hasan. Penyidik yang juga masuk dalam 75 pegawai yang tak lolos TWK itu menyebut belakangan kebocoran informasi OTT sering terjadi.

"OTT bocor ya pasti dari internal ada, pegawai tidak berintegritas, " ucap Hasan.

Ihwal sering bocornya informasi terkait penyelidikan atau penyidikan kasus korupsi, menurut Harun Al-Rasyid, terjadi sejak Firli Bahuri menjadi deputi penindakan KPK pada 2018. "Kebocoran kasus itu justru banyaknya pas zaman Firli, deputi," ujar Harun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement