Rabu 09 Jun 2021 07:56 WIB

Pejabat AS: Situasi di Myanmar Kian Memprihatinkan

AS sedang melihat semua kemungkinan skenario di wilayah itu.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Ko Phyo, seorang pengunjuk rasa yang kehilangan satu kakinya selama protes anti-kudeta, dan putranya yang berusia dua tahun Paing Phyo Oo menonton kartun di rumahnya di pinggiran Yangon, Myanmar, Sabtu (24/5).
Foto: REUTERS/Stringer
Ko Phyo, seorang pengunjuk rasa yang kehilangan satu kakinya selama protes anti-kudeta, dan putranya yang berusia dua tahun Paing Phyo Oo menonton kartun di rumahnya di pinggiran Yangon, Myanmar, Sabtu (24/5).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Koordinator Kebijakan Presiden Joe Biden untuk kawasan Indo-Pasifik, Kurt Campbell, mengatakan situasi di dalam pemerintahan militer Myanmar sangat memprihatinkan dan memburuk, Selasa (8/6). Dia menjelaskan Amerika Serikat (AS) sedang melihat semua kemungkinan skenario di wilayah itu.

"Tidak dapat disangkal bahwa kekerasan meningkat. Kami melihat tidak hanya tantangan dari pemberontakan etnis, tetapi oposisi yang semakin terorganisir dan terarah," kata Campbell dalam acara daring yang diselenggarakan oleh Center for a New American Security.

Baca Juga

Campbell mengakui ada kemungkinan nasib dari runtuhnya Myanmar mengingat situasi yang memburuk. “Sulit untuk tidak berkecil hati dengan apa yang telah kita lihat. Saya akan mengatakan situasi di dalam negeri mengkhawatirkan. Dan situasinya terus memburuk. Saya pikir kita melihat semua skenario," ujarnya.

Campbell mencatat bahwa pemimpin kudeta Myanmar Min Aung Hlaing telah mengakui dalam sebuah wawancara yang disiarkan di televisi milik militer bahwa dia tidak mengantisipasi tingkat kerusuhan sipil.

Dia pun menyinggung sikap Washington yang mendukung upaya Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan lainnya untuk mencoba memulai proses mengembalikan Myanmar ke demokrasi dan mendesak negara-negara mengisolasi para jenderal secara diplomatis.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta militer 1 Februari, dengan protes setiap hari di kota-kota besar dan kecil. Kondisi ini meluas dengan pertempuran di perbatasan antara militer dan milisi etnis minoritas.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan sekitar 100 ribu orang di negara bagian Kayah telah mengungsi karena pertempuran yang termasuk serangan membabi buta oleh pasukan keamanan di daerah sipil.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement