Rabu 09 Jun 2021 06:06 WIB

Raperpres Alpalhankam Dinilai Sudah Lewati Prosedur Lazim

Pemenuhan MEF disebut tumbang akibat resesi ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.

 Mantan sekretaris kabinet Andi Widjajanto berbicara dalam seminar Digital Diplomasi di Jakarta, Rabu (8/4).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Mantan sekretaris kabinet Andi Widjajanto berbicara dalam seminar Digital Diplomasi di Jakarta, Rabu (8/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengamat pertahanan Andi Widjajanto menilai Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah menjalankan prosedur yang benar untuk menyusun rencana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Rencana itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Presiden tantang Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) yang beredar di publik.

Menurut Andi, angka yang muncul dari rencana pembelian alutsista sebesar Rp 1,7 kuadriliun merupakan hasil dari prosedur yang sudah dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. "Proses kebijakan pertahanan untuk menghasilkan Rp 1.700 triliun itu, Kemenhan sudah menjalankan prosedur yang memang harus dilakukan," kata dia dalam keterangan, Selasa (8/6).

Mantan sekretaris Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla ini menambahkan, proses kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista sudah baku sejak 2006. Yakni, saat Undang-Undang (UU) Pertahanan, UU TNI, dan UU INdustri Pertahanan terbit. Menurutnya, formula itu tetap dilakukan sampai saat ini.

Ia mengatakan, pada 2005-2006, Indonesia memiliki perencanaan alutsista jangka panjang yang disebut Kekuatan Pokok Minimum (KPM) atau Minimum Essential Force (MEF). MEF atau KPM sendiri diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan alutsista hingga 2024. Konsep rencana strategis ini dibagi menjadi tiga bagian, KPM I, KPM II, dan KPM III, yang akan berakhir pada 2024 mendatang.

 

Menurut Analis Utama Politik Keamanan LAB 45 ini, RI sudah berada di KPM III. "KPM III harus diselesaikan Pak Prabowo," tegasnya. Artinya, Menhan Prabowo memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan KPM III yang telah disusun pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Andi menilai, yang menjadi kendala Menhan Prabowo untuk menuntaskan KPM III adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak tercapai ditambah resesi akibat pandemi Covid-19. Hal itu membuat KPM III tumbang. "Idealnya di KPM II antara 2014-2019, alokasi anggaran pertahanan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sudah ke arah 1,5 persen dari PDB. Tapi nyatanya sekarang kita masih mandek di 0,7 sampai 0,8 persen dari PDB. Jadi ada persoalan itu untuk Pak Prabowo," tegas Andi.

Ia menambahkan, Menhan Prabowo harus menawarkan rencana strategis baru untuk kebutuhan 2024-2044 agar renstra pertahanan keamanan nasional berkesinambungan. Untuk menyukseskan itu, Menhan harus melewati sejumlah pendekatan. Pertama, pendekatan politik pertahanan. Menurut Andi, pendekatan ini sudah selesai dilakukan.

Kedua, menyusun skenario ancaman, melalui tugas intelijen pertahanan dan TNI. Andi mengaku hal ini juga sudah ada, yakni dokumen analisa lingkungan strategis yang dilaksanakan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan. Selanjutnya, pengembangan kapabilitas dan anggaran, yang disebut postur pertahanan.

"Kita sudah punya rancangan postur yang ideal sampai 2029. Itu sudah ada dokumennya," tegas Andi. Kemenhan melakukan kalkulasi anggaran memakai ketiga pendekatan itu. Kemudian, tersusunlah Raperpres Alpalhankam senilai Rp 1.700 triliun yang kini menjadi polemik tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement