Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dicky Mulya Ramadhani

Mahasiswa, Refleksi Antara Pergerakan Perjuangan di era Milenial

Eduaksi | Tuesday, 08 Jun 2021, 22:48 WIB
Mahasiswa Desain Original

Berbicara mengenai pergerakan mahasiswa memang tidak akan pernah surut dalam realitas perkembangnnya, hal itu selalu terjadi baik itu di negeri kita sendiri ataupun di belahan dunia manapun mahasiswa selalu mencoba hadir mengusung perubahan sebagai bentuk koreksi atas segala fenomena sosial kebangsaan yang sedang terjadi.

Memang kendatinya jika ditilik dari status dan posisinya mahasiswa mengemban beban yang sangat berat tetapi juga posisi yang strategis, dikatakan berat karena dituntut bukan hanya berkisar dalam tataran akademis perkuliahan semata, namun mereka merupakan middle class berada pada stratifikasi sosial yang tinggi ditengah-tengah masyarakat sebagai golongan terpelajar.

Karena sejarah mencatat bahwa mahasiswa ikut bereperan besar dalam perubahan yang terjadi di suatu bangsa kita sendiri. Namun yang sangat tidak bisa dipungkiri adalah arus perkembangan era globalisasi membuat perubahan yang sangat signifikan diberbagai aspek kehidupan baik itu ekonomi, politik, teknologi, sosial maupun budaya. Hal tersebut memang semestinya itu menjadi faktor pendukung yang memajukan untuk mendorong sebuah perubahan zaman yang sangat signifikan. Perihal persoalan tersebut yang semestinya dapat mendorong laju gerak mahasiswa di era milenial.

Namun yang sangat disayangkan, hal itu tidak dimaanfatkan dengan baik oleh kalangan mahasiswa sebagai spirit pergerakan perubahan sosial, melainkan terlalu nyaman terbawa oleh perubahan era yang terus melaju secara cepat berubah ini.

Dunia modern memang menuntut kita untuk berpikir lebih produktif, kreatif, inovatif dan rasional, bukan dengan rasa ketakutan, optimisme buta, atau skeptisme yang menyuramkan. Sebagai makhluk terpelajar, seorang mahasiswa haruslah memahami keterkaitan antara teori dan aksi yang mereka lakukan. Namun yang terlihat di kalangan mahasiswa sekarang seakan berpikir seperti orang aneh yang tersesat dalam kegelapan zaman, dimana mahasiswa yang penuh dengan jiwa revolusioner perjuangan kekritisan yang berani dengan semangat pergerakan demi sebuah jalan kebenaran rasanya perlahan seakan- akan terlenyapkan.

Sudah kita ketahui bahwasannya mahasiswa selalu identik dengan slogan Agent of change ataupun bisa disebut agen sebuah perubahan lalu dimana kata-kata tersebut dalam realitasanya, rasanya perlu kita coba refleksikan kembali prersoalan itu, apakah itu hanya sebuah semacam mitos slogan saja yang utopis tanpa langkah nyata.

Mahasiswa sudah seharusnya merefleksikan akan fungsi, bukankah terlalu mengikuti trend itu melelahkan, padahal esensinya hanya ingin dibilang keren. Sebetulnya hakikat mahasiswa sebagai manusia luar biasa sesuai dengan arti katanya maha dan siswa, Kendatinya memang bukan hanya terlalu sibuk mengurusi persoalan luar fisiknya saja, demi tujuan utamanya, meraup eksistensi pribadinya.

Imam syafi’i mengungkapkan eksistensi manusia bukan dilihat seberapa ia terkenalnya di dunia masa, melainkan dilihat dari “Ilmu” dan “ketaqwaan” karena ilmu sebagai landasan bergerak, dan ketaqwaan sebagai spirit perjuangan. Serta Buya Hamka pun mengungkapkan ketampanan dan kecantikan yang abadi terletak pada Keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang bukan terletak pada wajah dan pakaiannya. Dari perkataan itu kita bisa menyimpulkan bahwasannya memang hakikatnya manusia bukan hanya mengurus fisiknya saja, namun yang terpenting mahasiswa sebagai kaum intelektual yang berfikir kritis harus mempunyai kesadaran realitas sosial yang tinggi, dan jiwa revolusioner, bukan melainkan zaman kemoderenan menghilangkan pergerakan yang semestinya dilakukan, karena hanya sibuk persoalan sebuah fisik dan penampilan.

Selain dari itu, ada pula hal yang begitu penting juga sebagai mahasiswa, yaitu sebuah wawasan ilmu, cakrawala berfikir demi proses pendalaman intelektualnya, karena manusia seyogianya adalah Insan yang berfikir. Yang diharuskan berfikir kritis untuk melawan, mengungkap membenarkan segala persoalan yang tak masuk akal sehat pikiran. Mirisnya kaum milenial sekarang, mahasiswa bukan sibuk memperkaya intelektualnya, melainkan sibuk memperdungu dirinya seakan terlalu terlena oleh kemajuan era kemodernan ini yang perlahan mengikis nalarnya,membobrokan kualitas dirinya.

Apakah memang benar jaman sekarang pemerintah dan civitas birokrat kampus memberlakukan NKK/BKK kembali seperti pada masa orde baru pemerintahan soeharto, sehingga mahasiswa seakan-akan sulit bergerak dan dibayang-bayangi oleh sebuah persoalan kecaman yang menakutkan. Karena pada realitasnya mahasiswa yang sekarang ini hanya sibuk berurusan dengan masalah internal kemahasiswaan saja, sebuah organisasi hanya sebatas menjalankan program kerjanya dan kembali fokus pada study mereka yang katanya akademis.

Sudah sedikit kaum intelektual yang progresif yang membahas diskusi politik ataupun seminar-seminar yang membahas berbagai permasalahan yang sedang dihadapi bangsa, jangankan ruang lingkup bangsa yang sangat besar cakupannya, dihadapkan dengan persoalan yang harus bersifat responsive aktif terhadap persoalan internal kampusnya sendiripun ditanggapi dengan acuh apatis tanpa tindakan.

Sejatinya mahasiswa di jaman sekarang memang lebih gemar dan bangga bereperan dalam acara-acara seminar, ataupun acara TV, duduk manis sebagai jadi juru keplok (tepuk tangan) ataupun bereuforia di pusat perbelanjaan modern, dan nongkrong di tempat modern yang penuh kemewahan agar bisa dipamerkan atau dipublikasikan, itu yang saat ini sangat digemarkan, ketimbang memperbincangkan atau mendiskusikan persoalan bangsa dan internal kampusnya sendiri, tentunya itu sebuah persoalan yang perlu ada perubahan, mari kita kembali merefleksikan arah pergerakan ke depan.

Menuju Harapan Baru

Antonio Gramsci pernah membuat dua kategorisasi kaum intelektual, yaitu Intelektual tradisional dan Intelektual organik. Seorang intelektual tradisonal adalah mereka yang yang berjarak dan kurangnya kepedulian terhadap persoalan-persoalan perubahan sosial dan penederitaan masyarakat. Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang perduli terhadap segala persoalan apapaun, mereka berani terlibat dengan proses-proses kebijakan public ataupun isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. menurut kalangan ini, seorang intelektual harus memihak dan terlibat dengan perjuangan rakyat. Sedangkan kita mahasiswa sebagai intelektual organik harus mampu dan paham terkait fungsional tersebut.

Prof.Dr kuntowijoyo juga membri resolusi tentang intelektual Profetik, dalam hal ini memandang bahwa yang dimaksudkan intelektual profetik merupakan sebuah gerakan yang mempertemukan nalar akal adab nalar wahyu pada usaha perjungan,perlawanan, pembebasan pencerahan dan pemberdayaan manusia secara organik. Ini merupakan sebuah kelanjutan gerakan dakwah tauhid yang pernah dilakukan rasulullah dalam pergerakan, sehingga dapat dikatakn bahwa intelektual profetik meruakan sebuah konsep pergerakan sesuai dengan konsep berfikir kenabian yang luar biasa dalam menyikapi persoalan pokok kebangsaan dan keumatan, sehingga agend gerakan menjadi sebuah transformasi amal ibadah yang ilmiah (terukur) dan komprehensif dalam bentuk nyata.

Jika kita tilik tentang teori yang dibahas diatas, sudah jelas bahwasanya kita sebagai mahasiswa kaum intelektual harus mampu menyalurkan sebuah keilmuan yang dimiliki untuk dapat dintrasformsikan ke dalam ruang lingkup masyarakat bangsa. Karena jika dilihat kontek al quran ada ayat yang mengartikan “ kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. AL Imran 110). Dari hal itupun sudah jelas rujukannya, bahwasannya kita sebaga kaum intelektual ataupun mahasiswa, harus mampu memberi perubahan yang bersifat baik terhadap masyarakat bangsa dan Negara. Jangan sampai kita yang sekarang menyandang kaum agen perubahan namun tak mampu memberi kontibusi ataupun manfaat terhadap segala persoalan yang sedang dihadapi Negara.jangan sampai pula ketika ada kebijakan publik yang menindas rakyat, ataupun persoalan internal kampusnya sendiri dia tak mampu mempunyai kesadaran kolektif untuk turun langsung menangani permasalahan yang jauh dari akal sehat pikiran. Jangan sampai kita melupakan esensi sebuah kategori mahasiswa sebagai kaum intelektual tersebut. Karena bagaimanapun mahasiswa harus mampu terlibat dan berperan dalam persoalan ataupun baik itu sosial maupun politik, dan serta yang lainnya.

Oleh: Dicky Mulya Ramadhani

Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UMJ

Kader IMM FISIP UMJ

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image