Rabu 09 Jun 2021 00:05 WIB

Teori Terkini Soal Fenomena Long Covid

Sebagian pasien Covid-19 menderita gejala persisten yang dikenal sebagai Long Covid.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Sebagian pasien Covid-19 menderita gejala persisten yang dikenal sebagai Long Covid.
Foto: www.freepik.com
Sebagian pasien Covid-19 menderita gejala persisten yang dikenal sebagai Long Covid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebanyakan orang yang terkena Covid-19 mengalami gejala umum seperti demam, batuk, dan masalah pernapasan, lantas sembuh dalam satu atau dua pekan. Namun, diperkirakan sekitar 10-30 persen pasien menderita gejala persisten yang dikenal sebagai long Covid.

Perbedaan mengapa beberapa orang sembuh dengan cepat, sementara pada orang lainnya berlanjut selama berbulan-bulan, masih jadi pertanyaan menantang. Meski belum ada jawaban pasti, ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti di seluruh dunia.

Baca Juga

Long Covid belum memiliki definisi universal, namun merujuk pada situasi di mana seseorang mengalami berbagai gejala terus-menerus setelah pulih dari Covid-19. Gejala paling umum adalah kelelahan, sesak napas, nyeri dada, jantung berdebar-debar, sakit kepala, brain fog, nyeri otot, dan gangguan tidur.

Bisa juga mencakup gejala kehilangan fungsi indra perasa dan penciuman, gangguan kecemasan, depresi, serta ketidakmampuan untuk bekerja dan berinteraksi dengan masyarakat. Pada beberapa orang ini, seolah ada proses yang mempengaruhi tubuh mereka.

Terlepas dari gejala spesifiknya, banyak pasien khawatir akan infeksi dan kerusakan yang terus terjadi, takut bahwa kondisi mereka tidak akan pernah membaik. Sejauh ini, ilmuwan pun belum menemukan tes khusus untuk menjelaskan gejala yang terjadi pascapemulihan Covid-19.

Selain itu, sangat sulit untuk memastikan berapa proporsi orang yang terkena Covid-19 dan berakhir dengan gejala persisten. Dalam studi kekebalan Covid-19 yang berlangsung di Institut Walter dan Eliza Hall (WEHI), tim menemukan 34 persen peserta mengalami long Covid selama 45 pekan setelah diagnosis.

Studi itu digagas oleh Kepala Laboratorium dan Divisi Imunologi di Walter and Eliza Hall Institute, Vanessa Bryant, beserta dua rekannya. Mereka adalah Alex Holmes (profesor madya dan psikiater di Universitas Melbourne) serta Louis Irving (profesor madya di bidang psikologi Universitas Melbourne).

Akan tetapi, penelitian berbasis komunitas dan tidak dirancang untuk mengukur prevalensi keseluruhan kondisi pada populasi yang lebih luas. Hasilnya juga akan sangat tergantung pada cara peneliti merekrut peserta studi. Proporsinya bisa berbeda-beda.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pengidap long Covid sekitar 10 persen dari keseluruhan pasien global, sementara sebuah studi dari Inggris menemukan jumlahnya 30 persen. Persentase orang yang terkena dampak juga berpotensi berbeda antarnegara.

Mengobati long Covid amat menantang, mengingat tidak ada tes klinis definitif untuk menentukan apakah seseorang memilikinya, dan belum ada pengobatan standar. Orang dengan gejala ringan mungkin tidak memerlukan pengobatan, selain validasi dan informasi.

Pasien dengan gejala yang lebih parah butuh lebih banyak penanganan. Tim spesialis yang terkoordinasi di klinik penanganan pasien long Covid disarankan menggunakan pendekatan holistik dan perawatan klinis untuk mendukung pemulihan.  

Tim bisa terdiri dari dokter pernapasan, ahli reumatologi, ahli imunologi, ahli fisioterapi, psikolog, dan psikiater. Peneliti Vanessa Bryant mengatakan, hasilnya bagus bagi sebagian orang. Setelah sembilan bulan, setengah dari pasien di kliniknya boleh pulang dan bisa kembali beraktivitas normal. Sayangnya, sekelompok pasien lain perbaikannya lebih lambat. 

Penyebab long Covid belum diketahui secara pasti, namun ada teori bahwa kondisi itu terjadi akibat sistem kekebalan tubuh yang salah sasaran dan bekerja lembur setelah infeksi. Salah satu petunjuk yang mendukung teori ini adalah bahwa kondisi beberapa pasien long Covid membaik setelah mendapatkan vaksin.

Teori lain, ada "reservoir virus" kecil dan persisten yang tersembunyi di dalam tubuh pasien long Covid. Sisa fragmen virus kecil itu belum ditangani oleh tubuh, tidak menular, tetapi dapat secara konsisten mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Long Covid juga bisa saja disebabkan kombinasi kedua teori itu, atau elemen lainnya.

"Masih perlu penelitian lebih lanjut, karena masih dalam tahap awal.  Belum ada obatnya, tetapi kami dapat mendukung dan mengelola gejala pasien dan kami mendorong semua orang segera mendapatkan vaksin Covid-19 jika sudah tersedia," ujar Bryant, dikutip dari laman Science Alert, Selasa (8/6).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement