Selasa 08 Jun 2021 15:24 WIB

Krisis Konstitusi dari Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

RKUHP munculkan lagi pasal penghinaan Presiden yang dulu sudah pernah dicabut MK.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dibahas berisi pasal pidana bagi penghina Presiden dan Wakil Presiden. Sejumlah pihak mempertanyakan batasan antara kritik dan penghinaan Presiden. Kritik bagi Presiden pasalnya dianggap lumrah dalam negara demokrasi.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dibahas berisi pasal pidana bagi penghina Presiden dan Wakil Presiden. Sejumlah pihak mempertanyakan batasan antara kritik dan penghinaan Presiden. Kritik bagi Presiden pasalnya dianggap lumrah dalam negara demokrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Antara

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan mengatur ancaman pidana maksimal 4,5 tahun penjara bagi penghina kepala negara melalui media sosial. Selain kepala negara, masyarakat yang menghina lembaga negara lainnya, termasuk DPR dan MPR, bisa diancam pidana penjara maksimal dua tahun.

Baca Juga

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Muhammad Tanziel Aziezi, meminta pemerintah dan parlemen membahas cermat pasal penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP. Ia mendesak adanya garis batas tegas antara kritik dan penghinaan terhadap Presiden.

Pria yang diakrab siapa Azhe itu mengamati, kritik dan penghinaan terhadap Presiden belum diberi penjelasan perbedaan. Menurutnya, pasal itu bisa saja menyamakan kritik dengan penghinaan.

"Permasalahan kita hari ini adalah tidak jelasnya batasan antara kritik dan penghinaan. Dalam kondisi itu, setiap kritik selalu berpotensi dipandang sebagai penghinaan," kata Azhe kepada Republika.co.id, Selasa (8/6).

Azhe khawatir, kehadiran pasal penghinaan Presiden akan membuka kemungkinan adanya orang-orang yang dipidana karena menyampaikan pendapatnya terhadap kinerja Presiden. Padahal, kritik terhadap kinerja Presiden merupakan hal lumrah di negara demokrasi.

Atas dasar itu, Azhe menilai pasal tersebut tak perlu dibahas apalagi disahkan. Sebab, pasal itu berpotensi menjadi alat untuk menjerat siapa saja yang kritis terhadap kebijakan Presiden.

"Yang jelas, ada potensi orang-orang yang mengkritik kinerja presiden, misalnya karena ketidakpuasan, selalu punya potensi besar untuk dianggap menghina dan dipidana karena kritik tersebut," ujar Azhe.

Selain itu, Azhe mencontohkan negara lain yang punya regulasi soal penghinaan terhadap Presiden menempatkan Presiden sebagai kepala negara atau simbol negara. Dengan demikian, yang ada adalah penghinaan terhadap simbol negara.

Adapun di Indonesia, menurut Azhe, hal itu sulit dilakukan. Sebab, kepala negara yang jadi simbol negara sama dengan kepala pemerintahan.

"Jadi, penghinaan terhadap Presiden pada dasarnya sulit untuk diatur di Indonesia karena Presiden juga menjalankan jabatan sebagai kepala pemerintahan yang merupakan objek yang sah untuk dikritik," kata Azhe menjelaskan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, pembahasan RKUHP dengan pasal pidana bagi penghina Presiden dan lembaga negara sebagai bukti suara masyarakat tak dianggap penting lagi oleh pemerintah dan parlemen. Asfinawati mendapati tren pemerintah dan parlemen saat ini kian jauh dari nilai-nilai demokrasi. Praktik pemerintahan dan parlemen seakan menyerupai prinsip otoriter karena aspirasi publik hanya dianggap angin lalu.

"Yang terlihat oleh publik konsisten ini, konsisten dengan pembahasan RUU lain, seperti revisi UU KPK, omnibus law cipta kerja. Masyarakat tidak didengarkan," kata Asfinawati kepada Republika.co.id, Selasa (8/6).

Asfinawati mengakui adanya urgensi terhadap RKUHP. Namun, menurutnya, alasan urgensi itu tak lantas mengubah semua isi KUHP. "Soal mendesak kan tidak harus dengan perubahan langsung seluruhnya, bisa per bagian sehingga esensi keadilan lebih muncul," ujar Asfinawati.

Selain itu, Asfinawati menolak argumentasi bahwa pembahasan hingga pengesahan RKUHP penting sebagai bentuk kepastian hukum. Ia merasa sebagian pasal dalam RKUHP justru sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini tidak tepat. Kan ada putusan MK yang sudah mengubah beberapa pasal juga UU sektoral yang di-RKUHP malah coba dikodifikasi," singgung Asfinawati.

Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto, menilai pasal-pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP harus dikaji dan dipertimbangkan mendalam. "Perlu dikaji dan dipertimbangkan lebih dalam lagi, baik dalam perspektif konstitusionalnya maupun kemanfaatannya," kata Didik.

Dia menjelaskan, dalam perspektif konstitusionalitas, pasal penghinaan Presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh MK. Menurut dia, kalau ada putusan MK yang sudah dibatalkan kemudian dibangkitkan lagi, bisa menimbulkan krisis konstitusi.

"Dibatalkan, kemudian dimunculkan, lalu diuji kembali, bisa jadi dibatalkan lagi. Potensi munculnya ketidakpastian hukum akan terus terjadi, padahal putusan MK bersifat final," ujarnya.

Didik mengatakan, pengaturan terkait dengan pidana penghinaan, termasuk pencemaran nama baik secara umum sudah diatur. Menurut dia, setiap pejabat negara sebagai bagian dari warga negara mempunyai hak yang melekat pada dirinya seperti warga negara lainnya untuk menuntut setiap pelanggaran terhadap kehormatannya.

Politikus Partai Demokrat itu menjelaskan, konsekuensi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab menjadi salah satu hak yang harus dihormati dan dijamin sebagaimana diamanatkan konstitusi. Menurut dia, sebagai bagian penting partisipasi publik dalam ikut mengawal jalannya pemerintahan adalah ikut serta melakukan pengawasan, termasuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dan bertanggung jawab.

"Dalam konteks ini, tidak ada terhindarkan munculnya kritik terhadap setiap institusi dan pejabat penyelenggara negara, termasuk Presiden dan wakil rakyat," tuturnya. Didik menilai, hal yang lumrah dan biasa saja ketika rakyat terus bersuara dan mengkritik keras untuk perbaikan sehingga tidak perlu sensitif berlebihan karena itu dengarkan saja dan lakukan perbaikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement