Selasa 08 Jun 2021 12:26 WIB

Kapan Ledakan Emosi Anak Perlu Diwaspadai?

Mulai usia 7 tahun, umumnya tantrum atau ledakan emosi sudah tidak terjadi.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
Ledakan emosi anak (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com.
Ledakan emosi anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga bisa merasakan beragam bentuk emosi. Ada kalanya, emosi yang dirasakan anak merupakan emosi negatif yang kemudian berkembang menjadi ledakan emosi.

Spesialis kedokteran jiwa konsultan psikiatri anak dan remaja dari RS Pondok Indah - Bintaro Jaya, dr Anggia Hapsari SpKJ (K), mengatakan, kondisi tersebut sebenarnya dapat dianggap wajar. Namun, ada kondisi di mana ledakan emosi pada anak patut diwaspadai.

Salah satunya adalah tantrum atau ledakan (outbursts) yang terjadi pada usia 7-8 tahun. Menurut dr Anggia, pada tahapan usia perkembangan ini seharusnya tantrum atau ledakan sudah tidak terjadi.

Ledakan emosi juga perlu diwaspadai bila perilaku anak sudah membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. Patut diwaspadai pula bila perilaku anak yang mengalami ledakan emosi menimbulkan masalah serius di sekolah.

Orang tua juga sebaiknya waspada bila perilaku anak mempengaruhi kemampuannya dalam bersosialisasi dengan teman. Biasanya, kondisi tersebut dapat membuat anak 'dikucilkan' oleh teman-temannya.

"(Waspada bila) tantrum dan perilaku anak telah membuat distress atau kesulitan dalam keseharian keluarga," ujar dr Anggia, melalui surel yang diterima Republika, baru-baru ini.

Menurut dr Anggia, orang tua juga perlu waspada saat anak merasa tak mampu untuk mengendalikan emosi marahnya. Perlu diwaspadai pula bila anak merasa dirinya 'buruk'.

Terkait masalah emosi pada anak, dr Anggia mengatakan ada beberapa hal yang mungkin menjadi faktor penyebabnya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), kecemasan, trauma, kesulitan belajar, dan gangguan pemrosesan sensori. Beberapa faktor penyebab lainnya adalah spektrum autisme, sedikit mendapat kasih sayang dari keluarga atau teman, atau terlalu terikat dengan satu figur yang dominan.

Kepercayaan terhadap orang tua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga memiliki peran yang signifikan dalam membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat membantu anak meregulasi emosinya, sekaligus mendorong anak menjadi mandiri dan berani mengambil risiko.

"Apabila si kecil memiliki karakter ini, maka diharapkan anak dapat berperilaku tepat dalam lingkungan sosialnya dan terhindar dari masalah penyesuaian diri dalam hidupnya," kata dr Anggia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement