Senin 07 Jun 2021 16:40 WIB

UGM Bakal Pasang Alat Deteksi Gempa di Pesisir Jawa

Saat ini, EWS masih dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan teknologi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Petugas Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD mengoperasikan alat pendeteksi gempa (Warning Receiver System).
Foto: CANDRA YANUARSYAH/ANTARA
Petugas Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD mengoperasikan alat pendeteksi gempa (Warning Receiver System).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- BMKG belum lama ini menyampaikan hasil pemodelan gempa dan tsunami yang kemungkinan terjadi di Jawa Timur. Pantai selatan berpotensi terguncang gempa magnitudo 8,7, bahkan dengan ancaman ketinggian gelombang tsunami mencapai 29 meter.

Peneliti gempa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Sunarno, menyatakan pihaknya berencana memasang 10 stasiun pemantau gempa di sepanjang pesisir Pulau Jawa. Tujuannya, memprediksi gempa tiga hari sebelum kejadian, sehingga bisa dilakukan mitigasi bencana secara optimal.

"Saat ini kami sedang membuat sekitar 10 modul stasiun pemantau EWS gempa, yang akan kami pasang sepanjang Pulau Jawa sisi selatan untuk pengembangan algoritma triangulasi pusat gempa," kata Sunarno, Senin (7/6).

Alat EWS yang dipasang ini selain bisa memprediksi kejadian gempa, namun juga dapat memperhitungkan prediksi lokasi pusat gempa. Jadi, selain memprediksi tiga hari sebelum gempa, juga dapat memperhitungkan pusat gempa yang akan terjadi.

Saat ini, EWS masih dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan teknologi, serta pengembangan algoritma penentuan pusat gempa. Tiap stasiun EWS yang dipasangkan mengukur tiap lima menit perubahan permukaan air sumur dan paparan gas Radon alam.

Selain itu, sejauh ini kepekaan EWS hanya dapat memonitor kejadian gempa di atas magnitudo 4,5 di Aceh-NTT untuk lempeng Indo-Australia. Tapi, untuk bisa memantau daerah lempengan lain, harus dipasang stasiun EWS di lempengan yang akan dipantau.

"EWS tersusun dari sejumlah komponen seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, sumber daya listrik, serta memanfaatkan teknologi internet of thing (IoT) di dalamnya," ujar dia.

Mekanisme kerja alat ini berdasarkan perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang jadi anomali alam sebelum terjadi gempa. Bila akan terjadi gempa, akan muncul fenomena paparan gas radon alam dari tanah meningkat secara signifikan. "Demikian juga permukaan air tanah naik turun secara signifikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement