Perpusnas Agar Hadirkan Literatur Sejarah Islam Nusantara

Distorsi sejarah Islam yang sengaja dibelokkan akan melukai umat Islam

Sabtu , 05 Jun 2021, 10:26 WIB
Sejumlah pengunjung membaca buku di Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Rabu (5/8/2020). Selain mengurangi jam dan hari kunjungan, Perpusnas juga membatasi pengunjung menjadi 1.000 orang per hari dan menerapkan protokol kesehatan untuk menekan penularan COVID-10.
Foto: ANTARA/INDRIANTO EKO SUWARSO
Sejumlah pengunjung membaca buku di Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Rabu (5/8/2020). Selain mengurangi jam dan hari kunjungan, Perpusnas juga membatasi pengunjung menjadi 1.000 orang per hari dan menerapkan protokol kesehatan untuk menekan penularan COVID-10.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, meminta Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas RI) berkontribusi menghadirkan literatur sejarah yang otentik untuk meluruskan kesimpangsiuran informasi yang tengah marak sehingga dapat menjadi referensi sejarah yang akurat dan valid.

Ia khawatir adanya distorsi sejarah islam di nusantara yang sengaja dibelokkan, menimbulkan narasi dan perdebatan yang tidak jelas dan melukai umat Islam. 

Terlebih, baru-baru ini ditemukan bahan materi ajar pada buku Sejarah Kebudayaan Islam untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelas VI yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus sebagai imam Syiah ke-enam. 

"Tentu saja klaim ini salah, karena tidak ada referensi Sunan Kudus dan pendakwah wali songo lainnya berpaham syiah," kata Fikri dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/6).

Fikri meniali klaim tersebut timbul dikaitkan dengan adanya narasi tentang sosok muhajir (Ahmad bin al-muhajir)—seorang ulama yang lahir di Palestina dan sebagai nasab pendahulu para wali songo di tanah Jawa- adalah penganut Syiah. "Klaim ini telah dibantah di banyak referensi kitab terkenal, seperti kitab Nasim Hajir, kitab Samum Naji, dan kitab Jana Samarikh min Jawab Asilah fi at-Tarikh yang mengungkap sosok Muhajir," ujarnya.  

Namun, ia menyayangkan referensi-referensi penting dan otentik semacam ini tidak mudah dijumpai publik, padahal itu menjadi tugas pokok Perpusnas.  Sesuai dengan UU Nomor 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan yang mengamanatkan pemerintah dalam hal tersebut.

"Pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi penerbitan buku langka dan naskah kuno yang bernilai sejarah serta mempunyai nilai penting bagi bangsa dan negara," ucap Fikri mengutip pasal 36 butir g dalam UU No. 3/2017.

Selain itu, dirinya juga meminta agar Perpusnas RI dapat tampil untuk mengisi kekosongan referensi-referensi sejarah Islam di nusantara. Menurutnya Perpusnas RI bisa bekerjasama dengan pesantren, untuk membuat referensi mengenai sejarah awal mula syiar islam di nusantara, kiprah pesantren, tulisan para kiai, bagaimana kontribusi mereka terhadap keilmuan, dalam melawan penjajah, soal nasionalisme, dan dalam pembentukan negara ini.

Pentingnya referensi sejarah islam yang otentik di Indonesia, menurut Fikri harus diwujudkan agar tidak melulu informasi salah yang disuguhkan kepada publik.   "Misalnya soal kasus hilangnya sosok pahlawan nasional yang juga pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hayim Asyari dalam kamus sejarah yang diterbitkan Kemendikbud RI," singgung Fikri.

Lebih jauh, Fikri berharap referensi tersebut nantinya bisa menjadi handbook atau ensiklopedia yang bisa diakses secara luas. Ia percaya, jika digarap dengan baik, referensi-referensi tersebut kelak dapat menjadi rujukan yang terpercaya dalam diskusi-diskusi sejarah. 

"Saat ini informasi banyak dimana-mana tetapi banyak juga yang hoaks. Perpusnas sangat penting posisinya dalam menjadikan masyarakat well educated, tidak hanya well informed," tuturnya.