REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kelompok masyarakat sipil melaporkan 845 orang tewas dibunuh oleh pasukan junta sejak kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari hingga 3 Juni 2021.
Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) mengungkapkan tambahan tiga korban tewas pada Rabu dan didokumentasikan pada Kamis (3/6). Ketiga korban berasal dari daerah Tanintharyi dan Negara Bagian Shan Selatan.
Dalam laporannya pada Jumat dini hari, terdapat 4.509 orang yang masih dalam tahanan, sebanyak 138 orang di antaranya dijatuhi hukuman. AAPP mengungkapkan, dua perempuan melarikan diri saat pasukan junta memasuki Desa Chaung Wa Pyin, Kotapraja Launglon, Tanintharyi, pada 29 Mei.
Keduanya ditangkap dengan luka tembak dan kemudian tewas.
“Kedua perempuan itu dikremasi dan foto jenazah mereka dikirim ke keluarga oleh pasukan junta pada 31 Mei,” ungkap AAPP dalam keterangannya.
Pada 2 Juni 2021 malam, pasukan junta mengerahkan penembak jitu di Kota Mobye, Kotapraja Pekon, Negara Bagian Shan Selatan. Akibatnya, seorang pemuda berusia 19 tahun tewas tertembak di dahi dan seorang warga sipil mengalami luka serius setelah tertembak di mulut.
AAPP sekaligus melaporkan dua anggota Liga Nasional Demokrasi (NLD) dipukuli dan ditangkap di rumahnya di kawasan Mandalay menyusul aksi protes menentang kediktatoran di Sein Pan Ward.
Seorang pengacara bernama Thet Tun Oo juga ditangkap pada Rabu kemarin setelah dia bersaksi dalam sebuah kasus di pengadilan di Penjara Myitkyina. Thet merupakan pengacara pro-bono bagi orang-orang yang ditangkap karena melakukan protes antikediktatoran di Myitkyina, Negara Bagian Kachin.
Myanmar diguncang kudeta militer pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan.