Kamis 03 Jun 2021 19:46 WIB

Pemerintah Harus Hati-Hati Tentukan Kebijakan Impor Beras

Presiden Jokowi memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras hingga Juni 2021.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja mengangkut beras saat proses penyaluran beras ke pasar-pasar di Gudang Perum BULOG.
Foto: ASEP FATHULRAHMAN/ANTARA
Pekerja mengangkut beras saat proses penyaluran beras ke pasar-pasar di Gudang Perum BULOG.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, meminta pemerintah agar berhati-hati dalam menentukan kebijakan impor beras. Kebijakan tersebut harus menjadi pilihan paling terakhi dalam upaya pemenuhan beras dalam negeri.

"Kebijakan impor untuk menutup kebutuhan harus hati-hati sebagai pilihan yang paling akhir. Dalam artian, kalau ada penyerapan Bulog yang tidak maksimal baru menjadi pilihan," kata Rusli kepada Republika.co.id, Kamis (3/6).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras hingga Juni 2021. Pernyataan tersebut disampaikan usai terjadi polemik pada Maret lalu mengenai rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 1 juta ton.

Ia mengatakan, ketersediaan data produksi beras oleh Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini sudah sangat jauh lebih baik. Hal itu seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan importasi beras.

Selain itu, situasi harga beras dalam negeri juga harus menjadi pertimbangan. Menurutnya, opsi impor bisa saja diambil jika harga gabah dalam negeri terlampau tinggi sehingga pemerintah tidak dapat menyiapkan cadangan beras pemerintah (CBP) melalui Bulog lantaran ketentuan harga pembelian gabah yang tidak sesuai harga pasar.

"Misalnya petani juga tidak bisa menjual dengan harga pembelian oleh Bulog, ya pemerintah juga kan tidak bisa memaksa. Tapi, kalaupun mau impor seharusnya diam-diam saja, begitu impor langsung simpan di Bulog," kata dia.

Adapun dalam jangka panjang, Rusli mengatakan produsen beras di Indonesia harus lebih menyebar sehingga ketimpangan ketersediaan antar provinsi bisa diperkecil. Hal itu juga perlu didukung dengan sistem logistik yang memadai.

Di sisi lain, upaya diversifikasi pangan juga menjadi keharusan agar masyarakat tidak semakin bergantung pada sumber pangan tunggal seperti beras. "Saya membayangkan ketika biasa di akhir tahun harga beras mahal, masyarakat terbiasa mengkonsumsi pangan alternatif penghasil karbohidrat lainnya yang juga diproduksi petani," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement