Rabu 02 Jun 2021 16:27 WIB

Pengamat: Parpol Belum Efektif Jadi Pilar Utama Demokrasi 

431 kepala daerah terjaring OTT dan berurusan dengan hukum. 

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro
Foto: Republika/Mimi Kartika
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, partai politik (parpol) belum efektif dalam melaksanakan fungsinya sebagai pilar utama demokrasi dan aset negara. Karena itu, partai politik harus berbenah diri agar berkualitas. 

"Jadi memang partai politik ini harus berbenah diri, tidak mungkin kita berdemokrasi tanpa ditopang sepenuhnya oleh partai-partai yang berkualitas," ujar Siti dalam diskusi daring, Rabu (2/6). 

Baca Juga

Dia mendorong parpol agar melaksanakan fungsinya menjadi pilar penting dari demokrasi dan aset negara. Mereka dituntut mampu menjalankan sistem kaderisasi yang mumpuni untuk menghadirkan calon-calon pemimpin yang berintegritas dan berkualitas. 

Dengan demikian, kata dia, ketika pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan legislatif tiba waktunya, parpol tidak tergopoh-gopoh. Sebab, mereka sudah memiliki kader-kader berkualitas dan tidak kehabisan kader untuk diusung. 

Siti mencatat, per Mei 2021, setidaknya ada 431 kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) dan berurusan dengan hukum. Hal ini menjadi salah satu faktor penilaian parpol belum efektif sebagai pilar utama demokrasi, karena hasil pemilihan kepala daerah langsung belum menghadirkan pemimpin yang bertanggung jawab. 

"Saya mencatat sampai akhir Mei ini itu 431 kepala daerah yang terjerat OTT yang berurusan dengan hukum," kata dia. 

Selain parpol yang belum efektif menjadi pilar utama demokrasi, kondisi empirik penyelenggaraan pilkada juga menunjukkan kesadaran politik rakyat sebagai pemilih belum memadai. Partisipasi pemilih sebagian masih dimobilisasi melalui vote buying atau jual beli suara pemilih. 

Kemudian, terdapat masalah independensi KPU daerah dan Bawaslu daerah dalam pilkada. Belum lagi politisasi birokrasi yang diramaikan isu netralitas aparatur sipil negara (ASN) juga masih menjadi persoalan yang membayangi pelaksanaan pemilihan. 

Tak hanya itu, politik transaksional, mahar politik, dan politik kekerabatan masih berkelindan dengan kontestasi pemilihan. Dengan demikian, Siti mendorong pembenahan pilkada dengan mengevaluasi dan mengkaji mekanisme pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota, keberadaan wakil kepala daerah, teknis penyelenggaraan pemilihan, dan penegakan hukum pelanggaran pemilihan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement