Selasa 01 Jun 2021 18:33 WIB

Din Syamsudin: Perwujudan Pancasila Belum Maksimal

Perwujudan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum maksimal.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Din Syamsuddin.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Din Syamsuddin.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Din Syamsuddin mengatakan perwujudan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum maksimal. Masih ada kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat yang ditandai oleh kelompok kecil menguasai mayoritas aset nasional. Menurut dia, ini bertentangan dengan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

“Begitu pula demokrasi yang kita laksanakan lebih merupakan paradigma demokrasi liberal. Itu bertentangan dengan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” kata Din kepada Republika.co.id, Selasa (1/6).

Dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia harus diakui ada pembelahan bangsa saat para pemimpin nasional tidak tampil sebagai pemersatu atau pencipta solidaritas. Malahan mereka terkesan membiarkan terpecahnya masyarakat. Selanjutnya, dalam sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab tidak mencerminkan realita saat ini.

Banyak sekali ketidakadilan yang bisa dilihat secara langsung. Misalnya, terkait pelanggaran protokol kesehatan, satu pihak harus menghadapi jalur hukum sementara fakta-fakta lain dibiarkan. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan yang sangat kasatmata.

“Terakhir, pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa ini sebenarnya sudah menjadi bangsa yang religius, dari awal dalam semua agama. Ini berkembang dari waktu ke waktu di semua kalangan agama,” ujar dia.

Sama halnya dengan kerukunan umat bergama yang relatif baik di Indonesia. Sayangnya, itu semua lebih banyak dipengaruhi dan dirusak oleh kebijakan-kebijakan negara yang memisahkan agama dari Pancasila. Padahal Pancasila seperti sila pertama sangat menekankan keberagaman.

Bahkan dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat 1 menyatakan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat 2 berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

“Maka tidak mungkin Pancasila dipisah dari agama. Justru dengan agama, Pancasila dan negara akan berdiri tegak,” ucap dia.

Dia menambahkan banyak kebijakan pemerintah yang sistematis tendensius memisahkan agama dari Pancasila. Contohnya, daftar pertanyaan tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK sangat mempertentangkan agama dan Pancasila.

“Masa ada pertanyaan pilih Alquran atau Pancasila. Itu pertanyaan bodoh yang ditulis oleh mereka yang tidak paham agama dan Pancasila. Lebih bodoh lagi saat itu menjadi dasar penentuan penerimaan pegawai,” tambah dia.

Dia menilai praktik-praktik semacam ini yang merusak keberagaman bangsa dan merusak kerukunan masyarakat. “Apalagi tendensius pada satu agama. Hanya kitab Alquran yang disebut. Inilah perusak negara Pancasila. Oleh karena itu, ini harus ditindak secara moral dan hokum,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement