Senin 31 May 2021 21:26 WIB

PP Muhammadiyah: Jangan Ada Kepentingan untuk Melemahkan KPK

Ketum PP Muhammadiyah turut membahas polemik TWK pegawai KPK.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nasir
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nasir

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pimpina Pusat (PP) Muhammadiyah menerima silaturahmi daring Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, turut membahas polemik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam penuntasan polemik ini, Muhammadiyah menuntut pemerintah dapat berlaku terbuka, transparan, jujur dan kedepankan solusi. Begitu juga semua komponen bangsa agar dapat membuat KPK berjalan transparan, good governance, obyektif.

Baca Juga

"Legislatif, yudikatif, eksekutif serta semua institusi negara itu harus mem-back up KPK, jangan ada kepentingan untuk melemahkannya," kata Haedar, Senin (31/5).

Selain itu, Haedar menekankan pimpinan-pimpinan KPK harus membawa lembaga itu betul-betul menjadi lembaga pemberantasan korupsi. Lembaga yang otoritatif, berwibawa, berintegritas dan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan korupsi.

Haedar meminta agar politisasi apapun tidak dilakukan dalam polemik tersebut. Sebab, ia berpendapat, politisasi hanya akan membuat masyarakat apriori dalam memandang masalah, sedangkan masyarakat sipil harus mampu bersikap obyektif.

"Kita civil society harus bersikap obyektif, kemudian juga terbuka dan tidak ada politisasi baik menyangkut KPK maupun persoalan-persoalan kebangsaan lain karena politisasi akan membuat kita apriori dalam menyelesaikan persoalan," ujar Haedar.

Terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Haedar berpesan agar dihentikan dan tidak ada kegiatan-kegiatan serupa yang tertutup dan bias. Ia menekankan, Muhammadiyah secara tegas sudah menyampaikan masalah dari tes tersebut.

Dimulai dari materi dan proses yang bias, reduksi dan juga tidak berstandar. Muhammadiyah berkeberatan dengan masalah menyangkut TWK dan jangan diperluas untuk persoalan aparatur sipil negara (ASN) atau kepentingan-kepentingan lain.

Indonesia, lanjut Haedar, harus memiliki standar yang obyektif dan berlaku untuk seluruh aspek-aspek dan komponen-komponen kebangsaan kita. Sehingga, tidak malah terjadi bias, politisasi maupun juga menghasilkan kontroversi.

"Maka, cukup dihentikan dan tidak ada lagi materi-materi yang seperti ini, sehingga tidak menjadi sumber permasalahan," kata Haedar.

Tapi, seraya itu, ia berharap ada obyektivasi nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur dalam gerakan anti-korupsi. Sehingga, gerakan anti korupsi itu juga punya kekuatan yang bersifat jangka panjang.

"Tidak hanya dalam usaha penindakan tapi juga dalam usaha pencegahan," ujar Haedar.

Terakhir, Haedar berpesan agar potensi yang timbulkan kegaduhan diminimalisir agar persatuan bangsa semakin rekat. Dalam konteks ini jangan sampai persoalan KPK, persoalan Palestina dan lain-lain menjadi titik bangsa bercerai berai.

Haedar berharap, dialog, saling menerima masukan dan memperbaiki keadaan dari hal-hal yang kurang untuk jadi pilihan yang sangat penting. Ia mengingatkan, solusi jadi tawaran bagi kita agar masalah memang hadir untuk kita selesaikan.

"Bukan untuk terus diperdebatkan, apalagi kita politisasi sesuai dengan kepentingan masing-masing," kata Haedar. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement