Senin 31 May 2021 08:09 WIB

Pakar Ungkap Cacat Nalar Putusan MK Soal Verifikasi Parpol

Putusan MK soal verifikasi Parpol disayangkan.

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). MK menunda semua jadwal persidangan sementara waktu mulai Senin (27/7) untuk dilakukan sterilisasi guna mencegah penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.  *** Local Caption ***
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). MK menunda semua jadwal persidangan sementara waktu mulai Senin (27/7) untuk dilakukan sterilisasi guna mencegah penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj. *** Local Caption ***

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB), Titi Anggraini, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 173 ayat (1) tentang Pemilu merupakan putusan yang krusial. Hal tersebut karena menyangkut perkembangan penyelenggaraan pemilu pada tahun 2024 mendatang.

Menurutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 itu seolah-olah membedakan antara partai politik yang sudah lolos parliamentary threshold dengan partai politik yang belum lolos ambang batas parlemen meskipun memiliki kursi di DPRD Provinsi atau Kabupatan/Kota. Hal tersebut, lanjut Titi, terlihat jelas dalam proses verifikasi partai politik untuk ikut sebagai peserta pemilu.

Baca Juga

“Pertimbangan hukum Mahkamah Konstiusi adalah teori keadilan. Bahwa terhadap sesuatu yang sama, itu tidak boleh diperlakukan berbeda. Tetapi, terhadap sesuatu yang berbeda, itu tidak boleh diperlakukan sama. Jadi, mahkamah menganggap ada perbedaan antara partai politik yang sudah lolos parliamentary threshold 4 persen dengan partai politik yang belum lolos parliamentary threshold. Sehingga dengan demikian, bagi yang sudah lolos parliamentary threshold cukup diverifikasi administrasi. Bagi yang belum lolos, maka harus diverifikasi, baik administrasi ataupun faktual,” terangnya.

Lebih lanjut, menurut Titi, ada anggapan bahwa dengan lolosnya ambang batas parlemen seakan-akan hal itu merupakan kondisi faktual parpol. 

Apabila dibandingkan dengan putusan sebelumnya, ia menilai Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini telah mengubah pendirian hukum Mahkamah Konstitusi. Namun, perubahan posisi atau pendirian hukum tersebut tidak ditemukan keterangan detailnya.

“Perubahan pendirian hukum mahkamah itu hanya mengandalkan pendekatan teori keadilan terhadap yang sama tidak boleh dibedakan, dan terhadap yang berbeda tidak boleh disamakan. Tetapi, kenapa konstruksi perubahan pendirian hukum itu terjadi, tidak terlalu banyak dielaborasi,” bebernya.

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Ferry Kurnia Rizkiyansyah memberikan sudut pandang lain. Ia menaruh harapan terhadap partai politik, yakni bagaimana proses demokratiasi benar-benar terjadi di parpol.

Menurutnya, ada hal penting dan perlu dicermati untuk sampai ke situ, seperti rekrutmen kader, rekrutmen calon, soal keuangan partai yang saat ini masih belum tersentuh secara optimal, proses pengauditan, dan sebagainya.

“Di situlah integritas partai dipertaruhkan,” katanya.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa partai politik itu tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan mengalami perkembangan di setiap periodenya. Oleh karena itu, ia mendorong agar partai politik mampu menjadi partai yang modern.

“Kalau partai benar-benar ingin verified, ingin benar-benar menjadi partai modern, maka ya harus siap untuk diverifikasi,” terangnya.

Ia juga mengomentari apa yang disampaikan oleh Feri Amsari sebelumnya, yakni terkait aduan ke Dewan Etik MK. Ia menilai provokasi Feri Amsari tersebut menarik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement