Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andien Destiani R.

Menilik Kekerasan Seksual Dari Akar Hingga Buah

Eduaksi | Thursday, 27 May 2021, 11:50 WIB
ilustrasi ajakan untuk menghentikan kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita. (dokumentasi pribadi)

“Rasanya bingung, ragu, ada takut juga. Ngerasa kalau ini ada yang salah. Aku juga ngerasa kalau diminta dan jawab mau, rasanya hal itu aku lakukan bukan karena beneran mau. (Rasanya) campur aduk.” - Aurora (bukan nama sebenarnya), penyintas kekerasan seksual

Jika kita mencari “berita kekerasan seksual” di google search bar lalu menekan tombol enter, maka Google akan menampilkan berbagai berita dari beragam media mengenai isu tersebut. Dari membahas kasus, hingga tindakan preventifnya.

Salah satu kasus peristiwa tersebut ialah seorang siswi di Madura (10/03) yang dilecehkan gurunya dengan mengancam posisi siswi. Dilansir dari suara.com dan tribunnews.com, kasus ini dilatarbelakangi oleh sang guru yang mengancam akan menyebarkan video tiktok milik korban dan mengeluarkan korban dari sekolah jika ia tidak melakukan apa yang diminta oleh guru tersebut. Setelah mengetahui kejadian tersebut, orangtua korban kemudian melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.

Berita di atas hanyalah satu dari sekian banyak pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual, khususnya yang dialami oleh remaja. Dalam Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan, tertulis jumlah kasus kekerasan seksual sebanyak 995 baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Namun ini berasal hanya dari penyintas yang melapor.

Pemberitaan kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya saja. Masih banyak kasus kekerasan seksual lainnya yang berada di bawah lautan.

‘He was trying to give affection..’

(triggered warning//penjabaran kekerasan seksual)

Saat pertama kali terjadi, Aurora (bukan nama sebenarnya) cukup terkejut akan tindakan pelaku yang dilakukan tanpa consent dari dirinya (persetujuan). Pelaku lalu meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Sayang, hal itu tidak diindahkan oleh pelaku.

“Hari jumat waktu itu, pelaku tiba-tiba nyium tanpa bilang. Kejadiannya sekitar jam 5 sore setelah pulang sekolah. Habis itu, pelaku minta maaf, terus janji nggak akan ngulang. Aku maafin, tapi nggak lama setelah itu, pelaku mulai minta suatu hal yang lebih dari itu,” tutur Aurora.

Aurora merasa serba salah. Di satu sisi, ia merasa tak nyaman karena pelaku melakukannya tanpa persetujuan dirinya, “aku kayaknya nggak (bisa) ngerasa apa-apa (lagi) selain capek banget, lemes sampe gak tau dan gak bisa ngapa-ngapain selain nangis, atau ngelamun,” lanjutnya.

Di sisi lain, rasa bersalah kerap menghantuinya sebab pelaku merupakan kekasihnya. Pelaku menjelaskan alasan dari perilakunya adalah untuk menunjukan rasa sayang.

"Awalnya dia bilang ‘he was trying to give affection’ gitu. Dia bilang mau buktiin kasih sayangnya ke aku terus dia juga nanya ke aku ‘apa itu hal yang salah?’ Ke sananya karena dia sering tiba-tiba gitu, dia (bilang) alasannya refleks,” ujarnya.

‘Mana Ada yang Bakal Percaya?’

(triggered warning//penjabaran kekerasan seksual)

Pelecehan seksual memang tak memandang korban, entah itu bagaimana gaya pakaiannya, di mana kejadiannya, berapa usianya, dan apa gendernya. Siapapun bisa mengalami kejadian ini. Kembali pada tahun 2018, di tempat lain, Rangga (nama samaran) mengalami pelecehan seksual dari para lelaki “nakal” di sekolahnya.

Kasus ini terjadi di sekolah, saat Rangga duduk di kelas 9. Saat sedang pergi ke kamar mandi, Rangga mendapati segerombolan lelaki yang mengusiknya. Satu di antaranya mengatakan, “ngapain ke sini? di sini wc cowok, wc cewek di sana tuh!”

Rangga masih berusaha abai hingga ketika berada di satu bilik, tiba-tiba pintunya didorong hingga terbuka. Di depannya, tiga orang lelaki menghadang. Satu di antaranya melakukan dan berkata hal yang sangat tidak senonoh.

“Aku langsung marah, aku dorong si anak itu sampe mentok ke dinding. Terus aku langsung ngeberontak dan kabur,” ungkapnya.

Rangga enggan melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya. “Aku pikir emang bakal ada yang percaya? Mana ada di sini yang percaya kalo cowok nunjukin alat kelaminnya ke sesama cowok. Mana teman pelaku banyak, yang ada nanti malah mereka memutar balikan fakta dan buat cerita yang aneh-aneh tentang aku ke guru,” jelasnya.

Pada saat kejadian, ia mengaku merasa marah, terlebih karena ia dibilang salah kamar mandi. Ia juga merasa malu, takut, dan terkejut perihal pelecehan yang menimpanya. Kejadian itu sempat menyebabkan trauma baginya namun tidak lama.

“Dari situ aku belajar buat harus lebih berani ke semua orang apalagi menyangkut harga diri,” pungkasnya.

Ketika yang ‘Berkuasa’ Menyalahgunakan Kekuasaannya

“Karena korban itu gak pernah memilih untuk menjadi korban. Sedangkan pelaku punya pilihan, apakah dia mau jadi pelaku atau tidak.”

Dalam wawancara bersama Ressa Ria, salah satu pendamping di Samahita Bandung, ia menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mendasari terjadinya tindakan kekerasan seksual adalah adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Pelaku merasa bahwa ia lebih dominan dan lebih berkuasa dibanding korban sehingga ia dapat melakukan apapun terhadap korban. “Intinya hubungannya jadi tidak setara. Nah, itu yang bikin rentan kekerasan seksual terjadi,” tegas Ressa.

Relasi kuasa ini lahir dari budaya patriarki. Budaya patriarki inilah yang melahirkan normalisasi akan kekerasan seksual di masyarakat yang bernama rape culture.

“Budaya ini (rape culture) yang menambah resiko perempuan dan gender minoritas tuh terkena kekerasan seksual,” ujar Ressa saat ditanya mengenai budaya apa yang harus dihapuskan dari masyarakat.

Terdapat 3 hal di dalam rape culture. Pertama adalah over-masculinity yakni rasa dominasi berlebih pada laki-laki, terutama cis-male (laki-laki heteroseksual). Karena hal itu laki-laki merasa bahwa ia dapat merendahkan siapapun.

Kedua adalah objektifikasi perempuan. Masyarakat memandang perempuan sebagai objek seksual, bahkan dalam gaya pakaian tertutup. Terakhir adalah kebijakan pemerintah.

“Pemerintah membuat peraturan-peraturan yang meningkatkan kasus kekerasan seksual, contohnya kayak undang-undang perkawinan yang dulu.” Jelasnya.

Pemicu Pelaku Dilihat dari Kacamata Psikolog

Mendukung pernyataan Ressa, Ellyana Dwi seorang psikolog menjelaskan salah satu faktor utama terjadi kekerasan seksual adalah ego dalam menjalankan peran jenis kelamin yang dilatarbelakangi budaya patriarki.

Lelaki yang melakukan pelecehan terhadap perempuan akan dianggap lelaki yang macho dan diwajarkan sekitar seperti ungkapan ‘boys will be boys’. Sedangkan bagi korban, apalagi perempuan, hal itu akan meninggalkan bekas traumatik. Ia juga akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpa dirinya. Hal ini diperparah dengan stigma masyarakat yang buruk terhadap korban yang mempermasalahkan tentang pakaian, gaya hidup dan kehidupan pribadinya.

Ellyana juga mengatakan pemicu dari kekerasan seksual dapat disebabkan oleh gangguan psikotik. Namun, itu hanya memiliki peran kecil dalam tindakan kekerasan seksual yang dilakukan.

“Terdapat pula beberapa faktor lain seperti distorsi kognitif, impulsivitas, gaya hidup yang chaotic, riwayat masuk penjara, perilaku agresi, kesulitan untuk mengendalikan kemarahan, dan sebagainya,” lanjutnya.

Dilihat dari sisi kepribadian, pelaku kekerasan seksual tidak dibatasi oleh usia, pekerjaan, dan SES (Socio-economic Status) seseorang.

“Pelaku sexual harassment umumnya kurang memiliki kesadaran sosial, tidak dewasa (immature), tidak bertanggung jawab, manipulatif dan eksploitatif,” ujarnya.

Hal lain yang dapat menjadi pemicu perilaku tersebut adalah status pelaku yang sebelumnya merupakan korban. Pelaku yang pernah menjadi korban dan belum benar-benar pulih, akan merasa mereka pantas untuk melakukan hal tersebut karena sudah pernah mengalaminya. Ressa menjelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan mata rantai di masyarakat. Namun hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku.

Tingginya Urgensi Mencegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah

Maraknya kekerasan seksual di sekolah harusnya membuka mata para tenaga pendidik untuk lebih serius melakukan pencegahan terhadap hal tersebut.

Menurut DK (inisial), selaku guru di salah satu SMA negeri di Kota Tasikmalaya, kekerasan seksual yang paling sering terjadi di sekolah berbentuk pelecehan. Pelecehan ini dilakukan oleh teman sebaya maupun guru. Kebanyakan dari pelaku adalah lelaki, tetapi hal itu tak menampik kemungkinan lelaki juga dapat menjadi korban.

DK mengatakan jika pelecehan seksual terjadi di sekolah, maka sekolah akan memfasilitasi mediasi antara pelaku dan korban. “Sebisa mungkin kita adakan mediasi atau jalan damai dan kekeluargaan. Sekolah juga akan membantu pemulihan trauma korban,” lanjutnya.

DK menjelaskan penyuluhan mengenai perkembangan psikoseksual yang sehat juga dilakukan pada mata pelajaran Bimbingan dan Konseling. Konseling teman sebaya dilakukan di sekolah dengan tujuan agar para siswa dapat lebih nyaman membicarakan hal-hal mengenai seksualitas. Sekolah juga memfasilitasi siswanya untuk mengikuti seminar pendidikan seksual.

Keyakinan Sebagai Salah Satu Tindakan Mencegah

Menurut Ningrum sebagai guru SMP, agama menjadi salah satu ‘jaring’ agar kita tak terjerumus ke dalam perilaku-perilaku tercela, seperti melakukan kekerasan seksual. Agama dan keyakinan dalam praktiknya mempunyai andil bagi penganutnya mengenai pendidikan seksual secara informal.

Walau tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang religius pun dapat melakukan kekerasan seksual. Ellyana juga menyatakan bahwa religiusitas dapat dianggap sebagai faktor protektif sehingga dapat menurunkan risiko seseorang melakukan kekerasan seksual.

Bagaimana Cara Menyadarkan Pelaku?

Ellyna juga menambahkan beberapa hal untuk menyadarkan pelaku adalah dengan psikoedukasi, konseling, psikoterapi individual atau kelompok, dan rehabilitasi.

Psikoedukasi menjadi langkah awal agar pelaku tersadarkan bahwa yang ia lakukan salah dan ia membutuhkan bantuan dari tenaga profesional. Setelahnya barulah pelaku mendapatkan treatment dari psikolog.

“Jika individu mau bekerja bersama-sama dengan profesional untuk mau berkomitmen bertumbuh bersama, aku pribadi merasa bahwa perubahan itu akan menjadi mungkin,” tambahnya.

Treatment ALGEE

Ellyana menyarankan para remaja untuk menggunakan treatment ALGEE jika teman sebaya menjadi korban kekerasan seksual. ALGEE terdiri dari Approach, assess, and assist with any crisis; Listen non-judgmentally; Give reassurance and information; Encourage appropriate professional help; Encourage self-help and other support strategies.

ALGEE diharapkan dapat menjadi panduan bagi para remaja yang memiliki teman sebaya atau sanak saudara yang menjadi korban kekerasan seksual. Dengan ALGEE, kita juga diminta untuk mendekati dan mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan self encouragement, dan memberikan dukungan yang tulus.

Penulis: Adinda Afifah Damayanti, Andien Destiani Ramadhani, Fakhriya Azzahra Syahbuddin

Tulisan ini juga dipublish di opini.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image