Rabu 26 May 2021 12:18 WIB

Banyak Perusahaan Beraset Besar Tumbang karena Pandemi

Perusahaan-perusahaan itu miliki kesamaan yakni overhead cost yang tinggi

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Pesawat Garuda Indonesia memasuki area apron saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/4/2021). (ilustrasi)
Foto: AMPELSA/ANTARA FOTO
Pesawat Garuda Indonesia memasuki area apron saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/4/2021). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Marketing Yuswohady memprediksi perusahaan-perusahaan besar dengan overhead cost tinggi akan banyak yang tutup selama pandemi di tahun ini. Meski berada di industri yang berbeda, perusahaan-perusahaan itu memiliki kesamaan besar yakni memiliki overhead cost yang tinggi.

Dalam seminggu terakhir ini, beberapa perusahaan dengan aset besar dari berbagai industri seperti Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, Hero Group dan Bank BNI mengumumkan dampak dari guncangan ekonomi selama pandemi. Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air akan memangkas jumlah karyawan, Hero Group akan menutup seluruh gerai Giant, serta Bank BNI yang akan menutup 96 kantor cabang pada tahun ini.

"Selama pandemi, yang langsung jatuh adalah perusahaan yang aset fisiknya atau overhead cost-nya berat seperti gedung, pesawat, atau karyawannya banyak," ujar Yuswohady kepada Republika.co.id, Selasa (25/5).

Industri penerbangan memiliki overhead cost yang tinggi karena asetnya besar dan bergerak. Dengan berkurang drastisnya penumpang selama pandemi, pesawat tidak terpakai sementara leasing atau kredit pesawat harus terus dibayar. Akibatnya, maskapai harus memangkas jumlah karyawan.

Sektor perbankan yang terdampak oleh digital disruption dan millenial disruption juga semakin terkena imbasnya di masa pandemi. Perbankan yang lebih mengarah ke digital harus mengurangi kantor cabang. Sedangkan bisnis ritel juga kini kalah bersaing dengan e-commerce.

"Contohnya Gojek dan Bluebird. Gojek ini aset digitalnya yang besar, kalau Bluebird aset fisiknya yang besar, maka tidak heran kalau Gojek yang bertahan," tutur Yuswohady.

Perusahaan-perusahaan e-commerce dan platform digital seperti Gojek dan Tokopedia mengambil keuntungan sebagai perantara antara konsumen dan penyedia jasa atau penjual. Pola bisnis seperti ini, lanjut Yuswohady, saat ini lebih unggul karena hanya memiliki overhead cost (aset fisik dan karyawan) kecil.

Sedangkan aset digitalnya semakin besar karena fitur-fiturnya yang terus ditingkatkan menjadi semakin canggih dan efisien. Dengan adanya disrupsi digital, milenial hingga pandemi, maka tidak heran jika perusahaan-perusahaan besar mulai tumbang.

"Ini akan bola salju, korban lain akan bermunculan, cirinya adalah aset fisiknya besar dan karyawannya banyak. Jadi jangan kaget kalau nanti Bank Mandiri tutup kantor cabang juga," tutur Yuswohady.

Sementara itu, bisnis ritel waralaba kebutuhan sehari-hari seperti Indomaret dan Alfamart dinilai akan tetap bertahan. Hal ini mengingat produk yang dijual adalah fast moving (kebutuhan sehari-hari) dan gerainya berada di dekat permukiman.

"Orang lebih suka ke Indomaret dengan waktu 5 menit ketimbang beli di Tokopedia yang setengah hari atau sehari baru sampai. Makanya bisnisnya tetap bertahan saat pandemi." katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement