Selasa 25 May 2021 18:10 WIB

Kebocoran Data, Dosen UMM: Perlindungan Data WNI Masih Lemah

Indonesia belum memiliki Undang-Undang (UU) yang melindungi data pribadi konsumen

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Gita Amanda
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Shinta Ayu Purnamawati.
Foto: Dok. Humas UMM
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Shinta Ayu Purnamawati.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Shinta Ayu Purnamawati, menilai perlindungan terhadap data pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) masih tergolong lemah. Hal ini terbukti pada rangkaian kebocoran data yang terjadi di beberapa perusahaan besar.

Kasus terbaru, yakni dugaan kebocoran data 279 juta data WNI di database Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal itu menjadi polemik dan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat.

Baca Juga

Melihat masalah tersebut, Shinta mengungkapkan, Indonesia memang belum memiliki Undang-Undang (UU) yang melindungi data pribadi konsumen. Saat ini UU Perlindungan data Pribadi masih berupa rancangan. Padahal keberadaan UU ini penting terutama di zaman informasi yang serba cepat seperti sekarang.

Menurut Shinta, kebocoran data pribadi yang terjadi tentu merugikan peserta BPJS. Data tersebut bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Apalagi banyak informasi rahasia yang terkandung di dalam data BPJS seperti rekam medis peserta, alamat rumah, NIK, dan lain sebagainya.

“Data tersebut tentu sangat riskan untuk digunakan sebagai tindak kejahatan seperti pinjaman online, penipuan, bahkan juga eksploitasi data,” ucap Shinta dalam keterangan pers yang diterima Republika, Selasa (25/5).

Dengan tidak adanya UU perlindungan data pribadi, maka akan sulit menerapkan sanksi pidana. Hal ini terutama kepada pihak yang membocorkan data konsumen. Meskipun demikian, para korban tetap bisa meminta ganti rugi.

Ada pun mengenai hukuman, Shinta berpendapat, kasus ini bisa merujuk pada payung hukum yang sudah ada. Yakni UU Perlindungan Konsumen, UU Kesehatan, UU Pelayanan Publik, UU ITE, serta KUHP. Sebab itu, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Masalah kebocoran data bisa ditindak dengan melalui gugatan perdata pidana dan juga administrasi. Artinya, pada kasus ini BPJS telah lalai dalam menjaga informasi milik konsumen. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi mereka.

Kerugian yang didapat tidak hanya moril tapi juga materiil. Kerugian tesebut bisa menjadi dasar untuk menjatuhkan sanksi, apalagi jika nantinya terbukti bahwa kelalaian tersebut memiliki unsur kesengajaan. "BPJS sangat mungkin dapat dikenai pasal berlapis,” jelas Shinta.

Selanjutnya, Shinta menyarankan agar warga Indonesia berhati-hati untuk memberikan data pribadi. Hal ini terutama pada aplikasi-aplikasi yang tidak jelas. Selain itu diharapkan masyarakat tidak menggunakan kata sandi yang sama untuk berbagai layanan digital demi mencegah penyalahgunaan data.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement