Selasa 25 May 2021 00:47 WIB

Pemerintah Didesak Tunda Terbitkan SKB Pedoman UU ITE

Penerbitan pedoman UU ITE dinilai sebagai langkah yang keliru.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Indira Rezkisari
Revisi UU ITE.
Foto: republika
Revisi UU ITE.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE mendesak Pemerintah menunda penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga tentang pedoman penerapan regulasi UU ITE. Pemerintah saat ini disebut sedang menjadwalkan penandatanganan SKB yang melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, dan Kejaksaan Agung.

Draf dan lampiran SKB tersebut pun telah disepakati dalam rapat di tingkat pejabat Eselon I tiga kementerian/lembaga tersebut yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pada Kamis (20/5) kemarin. "Koalisi mendesak kepada pemerintah, menunda rencana penandatanganan SKB tentang pedoman penerapan regulasi UU ITE," ujar salah satu pegiat koalisi yang juga Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam pers rilis koalisi, Senin (24/5).

Baca Juga

Koalisi pun menyingung hasil dua tim bentukan Pemerintah yang ditugaskan membuat pedoman interpretasi dan mengkaji kemungkinan revisi UU ITE, guna merespons keluhan publik. Namun, kata Isnur, alih-alih menyampaikan hasil kajian dan memaparkan serta mensosialisasikan kinerja kedua tim tersebut secara terbuka, Menkopolhukam menyampaikan tidak akan melakukan revisi UU ITE.

Pemerintah justru hanya mengambil pilihan mengenai pembuatan pedoman interpretasi. Padahal koalisi menilai masalah dalam UU ITE, adalah ketidakjelasan atau kekaburan norma hukum dari pasal-pasal karet yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi warganegara.

"Sedangkan, pedoman dibutuhkan untuk menegaskan kembali aturan yang telah ada. Sehingga, penerbitan pedoman dalam merespons polemik UU ITE justru merupakan langkah yang keliru," ungkapnya.

Ia menilai, pemerintah justru melupakan BPHN dan Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham yang memiliki mandat untuk melakukan evaluasi dan jika perlu mengusulkan perbaikan hukum yang telah ada. Sebab, dalam rencana penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga tentang pedoman penerapan regulasi UU ITE, kedua lembaga tersebut justru tidak dilibatkan sama sekali.

Isnur melanjutkan, Koalisi juga mempertanyakan langkah Tim Kajian Revisi UU ITE yang akan menambah pasal pidana baru, yaitu pasal 45C. Pasal pidana baru akan berisi ancaman pidana untuk kabar bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.

"Penambahan pasal ini perlu dikritisi mengingat definisi 'kabar bohong yang menimbulkan keonaran' banyak mengandung unsur karet," kata Isnur

Isnur mengkritisi rencana tersebut, lantaran definisi kabar bohong saja tidak ketat, begitu juga dengan perbuatan yang menimbulkan 'keonaran di masyarakat', yang persyaratannya tidak semudah sekedar viral kemudian dianggap sebagai perbuatan onar

Selain itu, koalisi juga menilai seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan perbaikan atau revisi UU ITE. "Mengingat korban UU ITE terus berjatuhan dan sudah ada janji politik dari Presiden Jokowi," kata Isnur.

Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri dari tabungan  Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, ELSAM, Greenpeace Indonesia, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, LeIP, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement