Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fathin Robbani Sukmana

Kebiasaan yang Meresahkan

Info Terkini | Monday, 24 May 2021, 15:27 WIB
Ilustrasi kebiasaan mengerdilkan seseorang || Sumber : Kompasiana.com

Kok ada ya, orang yang kebiasaannya senang melihat orang lain selalu rendah terus.

Itu adalah protes kawan saya melalui chat whatsapp beberapa waktu lalu, awal dari munculnya ungkapan kawan saya karena kita sedang membahas situasi di satu lembaga yang sama-sama kita pernah duduk di sana.

Awalnya, ia mempertanyakan kenapa beberapa orang yang dianggap memiliki prestasi sangat sulit untuk bisa mendapat pengakuan dan apresiasi di sana. Saya hanya menjawab itulah sudah menjadi kebiasaan mereka melihat sesuatu dari satu sudut pandang.

Sebetulnya, bukan hanya di lembaga yang saya ghibahi dengan kawan saya tadi, ada banyak orang yang memiliki kebiasaan sama, ketika ada seseorang yang berprestasi, selalu membantu banyak orang tidak pernah dilihat. Akan tetapi ketika terjadi sedikit kesalahan, pasti langsung ramai sehingga rasa es teh manis pun bisa menjadi pahit.

Melihat Hal Kecil Saja

Beberapa jam sebelum mengetik artikel ini, saya melihat apa yang sedang tranding, sesaat saya sedikit kaget karena tiba-tiba Muhammadiyah menjadi tranding, padahal sedang tidak terjadi apa-apa atau tidak sedang mengadakan acara apapun.

Setelah saya baca satu persatu, ternyata ada seseorang yang mengkritisi Muhammadiyah melalu Lembaga Zakat Infaknya atau Lazismu mengirimkan bantuan yang berjumlah lebih dari 7 miliar, dalam akun orang tersebut menuliskan caption akhirnya begini Banyak orang kaya yang ternyata lebih cinta bangsa lain daripada bangsa sendiri. Sambil menunjukkan laporan Perolehan dana untuk Palestina,

Jelas, Twit si mbak itu langsung ramai, karena banyak aktivis Muhammadiyah yang mencoba meluruskan isu bahwa Muhammadiyah tidak peduli dengan bangsa sendiri. Padahal kita bisa ketahui bersama bahwa Muhammadiyah sudah membangun bangsa sejak sebelum Indonesia Merdeka, Cuma ya Muhammadiyah melakukannya di jalan sunyi.

Dari twit tersebut, saya merasa kok nyambung ya dengan pembicaraan saya dan teman saya di chat whatsapp. Si Mbak yang mengkritik Muhammadiyah, ia hanya melihat sumbangan 7 miliar yang menurut saya sangat kecil dibandingkan dengan aset dan bantuan Muhammadiyah di sektor lain.

Kalau kita lihat, Muhammadiyah sudah mengeluarkan dana lebih dari 300 miliar untuk penanggulangan covid dari semenjak awal covid hingga hari ini. Belum lagi, kalau ada bencana, Muhammadiyah selalu memberikan bantuan dana yang sangat besar, bahkan kalau dibelikan baso, baso tersebut bisa dinikmati berbulan-bulan.

Tapi, kenapa si mbak Cuma lihat jumlah yang kecil? Tidak melihat kerja Muhammadiyah secara keseluruhan? Pada akhirnya, saya hanya bisa mengambil kesimpulan mungkin si mbak baru tahu Muhammadiyah beberapa jam saja bahkan tidak mungkin si mbak tidak paham sejarah Indonesia juga.

Awal Kebiasaan yang Meresahkan

Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, saya yakin, kita semua sering menemui kejadian-kejadian seperti di perbincangan kawan saya ataupun yang terjadi di twitter hari ini. Banyak orang yang lebih senang melihat kesalahan dari pada prestasi orang lain atau bahkan cenderung mengerdilkannya.

Pertanyaannya, kenapa banyak orang lebih melihat kesalahan atau cenderung mengerdilkan? Apa yang salah? Pendidikan kah? Atau karena memang belum kenal? Tentu ini jawaban atas pertanyaan tersebut berbeda-beda.

Tapi, bagi saya adalah kebiasaan ini cukup meresahkan. Mengapa? Akan ada banyak potensi yang harusnya bisa berkembang malah menjadi terhambat karena orang-orang yang berpikir lebih baik memviralkan kesalahan ataupun mengerdilkan orang lain.

Mengapa demikian? Jika pengalaman yang saya lihat, biasanya diawali dengan adanya kebencian. Ya, kalau sudah benci sebagus apapun prestasinya akan tetap dipandang buruk. Ketika ada celah kesalahan maka si orang yang benci akan terus membahasnya.

Biasanya, ini terjadi akibat perseteruan-perseteruan kecil seperti kompetisi, perbedaan pendapat hingga kalah dalam sebuah pertandingan. Setelah itu terjadi, kalau orang yang benci itu belum di atas angin, maka kejadian-kejadian di atas akan terus berlangsung sehingga menjadi kebiasaan yang tidak baik.

Selanjutnya, karena kita selalu diajarkan untuk jadi pemenang dan tidak diajarkan untuk menerima kekalahan. Ini banyak terjadi di lingkungan kita, sehingga memunculkan anggapan Kita harus menang walau dengan cara curang.

Kalau anggapan di atas sudah keluar, maka mau bagaimanapun bagusnya lawan akan tetap jelek bukan? Bahkan bisa saja kita menyebarkan berita kejelekan yang dibuat-buat untuk menjatuhkan lawan.

Nah, seharusnya selain di didik untuk menjadi seorang pemenang, kita juga harus mendidik diri kita untuk menjadi orang yang kalah juga. Tujuannya agar kita bisa melihat dan menghargai secara objektif prestasi seseorang sekalipun orang tersebut adalah lawan kita.

Karena tanpa adanya rasa ikhlas dalam menerima kekalahan, tentu kejadian di twitter yang mengkritiki Muhammadiyah akan banyak terulang, karena si orang yang mengetwit merasa kalah dengan Muhammadiyah.

Terakhir, kita terbiasa melihat sesuatu dari satu sudut pandang atau bahkan setengah-setengah. Ya contohnya adalah melihat seseorang hanya dari orang tuanya yang tokoh, latar belakang pendidikannya sehingga prestasi dan karya nyatanya banyak terlupakan.

Kalau saja, dari kecil kita diajari untuk melihat berbagai macam hal dari sudut pandang yang berbeda, tentu kebiasaan memandang orang lain rendah, atau kebiasaan senang melihat kesalahan orang lain tidak akan pernah terjadi. Mengapa? Karena dengan memandang dari sudut pandang yang berbeda, ternyata kita bisa juga melihat kesalahan dan kerendahan diri kita sendiri.

Salam Damai.

Fathin Robbani Sukmana, Penulis tinggal di Bekasi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image