Senin 24 May 2021 16:45 WIB

Diaspora Myanmar Galang Dana Dukung Demonstran Anti-Junta

Diaspora Myanmar mengumpulkan lebih dari 100 ribu dolar AS dalam satu hari

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Seorang pengunjuk rasa anti-kudeta mengangkat tangannya dengan tangan terkepal di depan kerumunan selama demonstrasi malam dengan cahaya lilin di Yangon, Myanmar Minggu, 14 Maret 2021. Setidaknya empat orang ditembak mati selama protes di Myanmar pada hari Minggu, saat pasukan keamanan melanjutkan tindakan keras mereka terhadap perbedaan pendapat menyusul kudeta militer bulan lalu.
Foto: ap/AP
Seorang pengunjuk rasa anti-kudeta mengangkat tangannya dengan tangan terkepal di depan kerumunan selama demonstrasi malam dengan cahaya lilin di Yangon, Myanmar Minggu, 14 Maret 2021. Setidaknya empat orang ditembak mati selama protes di Myanmar pada hari Minggu, saat pasukan keamanan melanjutkan tindakan keras mereka terhadap perbedaan pendapat menyusul kudeta militer bulan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Diaspora Myanmar di Amerika Serikat (AS) menggalang dana untuk mendukung warga sipil yang melakukan perlawanan terhadap junta militer. Aung Moe Win, bersama dengan Dukungan untuk Gerakan Demokrasi Burma mengatakan, organisasinya mampu mengumpulkan lebih dari 100 ribu dolar AS dalam satu hari dalam penggalangan dana di New Jersey selama Tahun Baru Burma.

“Saya pikir (penggalangan dana) itu yang paling besar di luar Burma di kota mana pu di dunia," kata Aung Moe Win, dilansir Aljazirah, Senin (24/5).

Baca Juga

Penggalangan dana lainnya direncanakan pada 19 Juni, tepat hari ulang tahun pemimpin sipil terpilih Aung San Suu Kyi yang ditahan sejak kudeta pada 1 Februari lalu. Sepertiga dari dana tersebut dikirim untuk mendukung pegawai negeri sipil yang ikut berpartisipasi dalam aksi mogok. Mereka menolak bekerja untuk militer, dan telah kehilangan penghasilan atau diusir dari perumahan pemerintah. 

Sepertiga lainya diberikan kepada perwakilan dari pemerintah sipil paralel. Kemudian sisanya disumbangkan kepada warga sipil yang telah terlantar karena konflik antara kelompok etnis bersenjata besar yang menolak kudeta dengan militer Myanmar. Konflik ini menyebabkan perang saudara pecah di beberapa wilayah.

Aung Moe Win terpaksa meninggalkan Myanmar untuk mengubah kehidupannya agar menjadi lebih baik. Dia bekerja untuk majalah The Irrawaddy di Chiang Mai, Thailand.  

"Itu adalah perubahan besar, begitu saya bekerja untuk The Irrawaddy, saya menjadi seorang pengasingan. Saya tidak akan pernah bisa kembali," kata Aung Moe Win.

Aung Moe Win menghabiskan beberapa tahun di Thailand, kemudian pindah ke AS tak lama sebelum Revolusi Saffron. Sejak kudeta, dia berusaha untuk membantu warga Myanmar meski terbentang jarak.

“Kami berusaha sebaik mungkin untuk membantu orang-orang Burma meskipun kami jauh.  Kita bisa menjalani hidup kita sendiri di sini, kami tidak perlu khawatir tentang apa pun. Tapi tetap saja, kami sangat peduli dengan negara kami, dan kami ingin rakyat Burma memiliki kebebasan dan hak yang sama seperti yang kami miliki di Amerika Serikat," ujar Aung Moe Win. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement