Kamis 20 May 2021 16:54 WIB

Ekonom: Neraca Dagang Beri Optimisme Pemulihan Ekonomi

Kemungkinan pada kuartal II pertumbuhan ekonomi akan mulai masuk ke zona positif

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Suasana aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/3). Kinerja neraca perdagangan yang kembali mencetak surplus menjadi optimisme bagi pemulihan ekonomi nasional pada kuartal II tahun ini.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Suasana aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/3). Kinerja neraca perdagangan yang kembali mencetak surplus menjadi optimisme bagi pemulihan ekonomi nasional pada kuartal II tahun ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja neraca perdagangan yang kembali mencetak surplus menjadi optimisme bagi pemulihan ekonomi nasional pada kuartal II tahun ini. Meski demikian, pemerintah tetap harus mengantisipasi sejumlah kemungkinan tekanan kinerja dagang yang bisa terjadi hingga akhir tahun.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, surplus neraca dagang pada April 2021 sebesar 2,19 miliar dolar AS menjadi tambahan indikator bagi perekonomian nasional. Menurut dia, kemungkinan besar pada kuartal II pertumbuhan ekonomi akan mulai masuk ke zona positif.

Baca Juga

"Ini kabar baik kalau seandainya kita bisa mempertahankan kinerja pemulihan ekonomi," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Kamis (20/5).

Ekspor pada bulan lalu tembus 18,48 miliar dolar AS, tertinggi sejak Agustus 2011. Yusuf mengatakan, lonjakan tersebut lebih diakibatkan oleh momentum kenaikan harga komoditas dunia yang diekspor Indonesia. Terutama harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), batu bara, dan tembaga.

 

Kenaikan harga CPO, kata Yusuf, salah satunya didorong oleh peningkatan permintaan dari berbagai negara, khususnya negara dengan mayoritas muslim yang merayakan hari raya Idul Fitri. Adapun khusus untuk harga batubara, tidak terlepas dari permintaan dari China yang naik disaat suplai yang terbatas.

Australia, sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia tengah dalam tensi geopolitik yang hanya dengan China sehingga Indonesia mengambil posisi dalam situasi tersebut.

Menurut Yusuf, pemerintah harus tetap membuat antisipasi karena kenaikan nilai yang lebih disebabkan oleh harga. Belajar dari ledakan harga komoditas pada 2011 lalu, Indonesia harus banyak belajar agar lebih siap menghadapi situasi jika terjadi penurunan harga secara tiba-tiba.

Sementara untuk kinerja impor yang mencapai 16,29 miliar dolar AS, Yusuf mengatakan, salah satu yang terbesar terjadi ada impor mesin yang naik sekitar 20-30 persen. Itu setidaknya menjadi salah satu indikasi bergeliatnya aktivitas investasi.

"Saya kira ini mengikuti tren di bulan sebelumnya, dan kalau kita lihat impor untuk bahan baku mengalami peningkatan dari tahun lalu, ini juga seiring PMI manufaktur kita yang masih di level ekspansi di atas 50 poin," kata dia.

Yusuf berpendapat, data impor dari BPS mulai menggambarkan aktivitas pemulihan ekonomi di dalam negeri yang mulai terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement