Kamis 20 May 2021 08:03 WIB

Pengamat UI: Israel Sudah di Level Sangat Paranoid

Negara-negara yang sebelumnya menormalisasi hubungan dengan Israel berpikir ulang

Rep: Andrian Saputra/ Red: A.Syalaby Ichsan
Abdul Muta
Foto: Ist
Abdul Muta

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Abdul Muta'ali menjelaskan, serangan Israel ke Gaza, Palestina, yang  mengarah ke warga sipil dan fasilitas umum adalah strategi Israel untuk memancing para pejuang Hamas keluar. Dia menilai, apa yang dilakukan Israel termasuk kejahatan perang karena rakyat Palestina yang tewas didominasi anak-anak dan perempuan. 

“Walaupun perang ini adalah perang yang sangat tidak berimbang. sebuah negara dengan teknologi militer yang sangat maju melawan satu bangsa Palestina yang belum merdeka, itu dilakukan Israel dengan membunuh masyarakat sipil. Artinya, Israel sudah pada level yang sangat paranoid," kata Muta’ali kepada Republika.

Muta’ali mengatakan dunia internasional harus tahu  benar bahwa serangan Israel kepada Palestina adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Dia mengatakan, warga Palestina terisolasi akibat penguncian wilayah oleh Israel sehingga sulit menerima bantuan kemanusiaan. Sementara itu,  Dewan Keamanan PBB hanya bisa mengecam  beberapa keputusannya terkait penyelesaian konflik. Itu pun selalu diveto oleh Amerika Serikat.

Menurut dia, permasalahan Israel-Palestina harus menjadi agenda utama Internasional. Ia menilai beberapa kesepakatan Internasional seperti kesepakatan Oslo, Camp David, Two State Solution, Abraham Agreemnet 2020 hanya portofolio yang belum sanggup menahan arogansi Israel.  Dia menilai, Rusia, PBB, Uni Eropa harus juga harus mampu meyakinkan Amerika Serikat untuk tidak lagi menjadi pendonor alutsista Israel serta tidak lagi membenarkan kebijakan Israel merampas hak rakyat Palestina.

Muta’ali menilai,  Indonesia telah memulai langkah baik negara-negara OKI untuk urusan Palestina-Israel. Meski demikian, dia menilai, terdapat pertentangan yang belum terselesaikan antara anggota negara OKI."Indonesia sudah melakukan langkah bagus dan cantik dengan menjadi inisiator tiga usulan ke OKI. Persatuan antar negara OKI, meminta gencatan senjata, dan fokus pada kemerdekaan Palestina, ini langkah baik. Namun memang disparitas antar negara OKI sendiri cukup tajam,”jelas dia.

Kasus Hamas, ujar dia, menjadi salah satu contoh perbedaan kebijakan ini. Dia mengungkapkan,  tidak semua anggota negara OKI sepakat dengan perjuangan Hamas seperti Saudi, UEA, Kuwait,  Bahrain dan Oman. mengapa demikian? karena Hamas cukup dekat dengan Iran dan Turki. “Pada saat bersamaan kita tahu, Iran adalah musuh dinginnya Saudi dengan sekutunya bagi Hamas, sebetulnya bukan masalah Iran nya. namun siapa yang datang memberi bantuan kepada Palestina, Hamas sangat terbuka. Belum lagi Mesir yang tidak suka Hamas karena kedekatannya dengan Ikhwanul Muslimin," kata dia. 

Sementara itu, Muta’ali menjelaskan,  negara-negara yang sebelumnya telah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel kini mulai berpikir ulang karena semakin memburuknya situasi dan pelanggaran terhadap kemanusiaan yang terjadi di Palestina.

"Hal ini dimulai dari kegerahan 4 negara yang sudah melakukan  normalisasi dengan Israel yaitu UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Negara-negara tersebut berpikir jika sudah dinormalkan hubungan sejatinya tidak ada lagi agresi militer ke Palestina. Tapi nyatanya justru kejahatan kepada kemanusiaan lebih buruk dari tahun 2014. Saya kira 4 negara di atas akan mempertimbangkan melanjutkan Abraham Agreement ini,”jelas dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement