Rabu 19 May 2021 06:23 WIB

Jepang Cabut Perubahan RUU Imigrasi yang Ketat

Pemerintah Jepang cabut RUU yang akan mempermudah mendeportasi pencari suaka

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga. Ilustrasi.
Foto: AP/Sadayuki Goto/Kyodo News
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemerintah Jepang mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan mempermudah mendeportasi pelamar yang gagal untuk status pengungsi, Selasa (18/5). Keputusan ini diambil setelah kematian seorang perempuan Sri Lanka di pusat penahanan imigrasi yang memicu kecaman pada Maret lalu.

Anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa mengabaikan upaya untuk meloloskan perombakan UU imigrasi. Artinya pencari suaka dapat dideportasi setelah permohonan ketiga mereka gagal.

Baca Juga

Pemerintah mengatakan perubahan itu akan menyelesaikan masalah penahanan lama pencari suaka. Pengacara, anggota parlemen oposisi, dan kelompok hak asasi manusia mengatakan itu bertentangan dengan norma internasional.

Perlakuan Jepang terhadap orang asing yang menghadapi deportasi menjadi sorotan lagi setelah kematian Wishma Sandamali yang berusia 33 tahun di pusat penahanan imigrasi di pusat kota Nagoya. Dia meninggal pada awal Maret setelah mengeluh sakit perut dan gejala lainnya sejak pertengahan Januari.

Sandamali pergi ke polisi pada Agustus tahun lalu untuk meminta bantuan dengan kekerasan dalam rumah tangga dan kemudian ditahan karena memperpanjang visanya. Anggota parlemen oposisi telah mendorong pihak berwenang untuk menunjukkan rekaman video keluarga Sandamali saat ditahan, tetapi itu ditolak karena masalah keamanan.

Kritik terhadap aturan tersebut meningkat secara daring dan seorang pejabat partai yang berkuasa mengatakan tidak ada gunanya mendorongnya, mengingat reaksi yang semakin meningkat. Dukungan terhadap Perdana Menteri Yoshihide Suga pun turun di bawah 33 persen dalam jajak pendapat baru-baru ini oleh kantor berita Jiji, mencerminkan rasa frustrasinya atas penanganan pandemi.

Jepang telah lama enggan melonggarkan seputar imigrasi dan suaka, meskipun populasi yang menua dan tenaga kerja menyusut. Padahal para ekonom berpendapat masalah itu dapat diatasi dengan menerima lebih banyak imigran.

Pada 2019, hanya 0,4 persen aplikasi suaka yang berhasil di Jepang, dibandingkan dengan 25,9 persen di Jerman dan 29,6 persen di Amerika Serikat. Di bawah sistem saat ini, beberapa pencari suaka diberikan pembebasan sementara dari pusat penahanan selama proses suaka mereka.

Pelonggaran itu membuat mereka dapat hidup relatif bebas meskipun tidak dapat bekerja. Sedangkan yang lainnya ditahan di pusat-pusat tersebut, dengan durasi waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement