Selasa 18 May 2021 14:31 WIB

Cerita Bayi di Gaza, Kelaparan dan Kehabisan Popok

Warga Jalur Gaza yang mengungsi akibat serangan Israel kekurangan pasokan makanan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Seorang wanita memberi makan bayi laki-laki Palestina Omar Al-Hadidi ketika dia berbaring di ranjang rumah sakit setelah pejabat kesehatan Gaza mengatakan sebuah rudal Israel menghantam sebuah rumah, menewaskan ibu dan empat saudara kandungnya, di Kota Gaza 15 Mei 2021.
Foto: REUTERS/Mohammed Salem
Seorang wanita memberi makan bayi laki-laki Palestina Omar Al-Hadidi ketika dia berbaring di ranjang rumah sakit setelah pejabat kesehatan Gaza mengatakan sebuah rudal Israel menghantam sebuah rumah, menewaskan ibu dan empat saudara kandungnya, di Kota Gaza 15 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Warga Jalur Gaza yang mengungsi akibat serangan Israel mulai kekurangan pasokan makanan dan kebutuhan lainnya. Kondisi ini membuat mereka membutuhkan bantuan sesegera mungkin untuk bertahan hidup.

"Kami membutuhkan makanan, pakaian, selimut, kasur, dan susu. Punggungku sakit karena tidur di atas selimut tipis di lantai," ujar Suheir al-Arbeed dikutip dari Aljazirah, Selasa (18/5).

Baca Juga

Sambil menggendong bayi yang baru lahir bernama Hasan di lantai sebuah ruang kelas di Kota Gaza dengan lima anaknya yang lain keluar masuk, al-Arbeed membuat daftar kebutuhan dasar. "Saya harus meminta popok orang lain untuk anak saya. Aku mencoba untuk menyusui dia tapi dia masih lapar dan terus menangis," ujarnya yang melahirkan dua pekan lalu.

Perempuan berusia 30 tahun itu adalah salah satu dari ratusan keluarga yang tinggal di utara dan timur Gaza yang meninggalkan rumah pada 13 Mei. Ketika itu tembakan artileri Israel yang hebat dan pengeboman udara mengguncang tanah di bawah kaki mereka.

Keluarga tersebut melarikan diri dengan berjalan kaki dan bergegas dalam kegelapan selama beberapa kilometer ke sekolah Gaza al-Jadeeda. Tempat ini menjadi salah satu dari sekian banyak sekolah yang dikelola oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pengungsi Palestina atau UNRWA.

"Tidak ada mobil atau transportasi yang tersedia,” kata al-Arbeed, yang rumahnya terletak di daerah Shujaiyah di timur laut Gaza.

Sedangkan Umm Jamal al-Attar ini bukan kali pertama dia dan keluarganya mengungsi. Dia mengatakan menghabiskan 40 hari berlindung di sebuah sekolah selama perang Gaza pada 2014. Masa itu Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil selama rentang 50 hari.

Umm Jamal bersama suami dan lima anaknya lari keluar dari rumah mereka di Atatra, di utara kota Beit Lahia, setelah rumah tetangga menjadi sasaran rudal Israel. "Israel membombardir kami dengan rudal dan penembakan. Mereka juga menembakkan semacam gas," kata Umm Jamal yang belum bisa pulang ke rumah untuk mendapatkan pakaian atau makanan.

Menurut PBB, lebih dari 38.000 warga Palestina di Gaza telah mengungsi secara internal dan mencari perlindungan di 48 sekolah UNRWA di seluruh wilayah pesisir. Angka tersebut mencakup setidaknya 2.500 orang yang rumahnya hancur total dalam pemboman Israel.

Juru bicara UNRWA, Adnan Abu Hassan, mengatakan pada Senin (17/5), badan tersebut telah mulai menyediakan beberapa kebutuhan dasar bagi keluarga pengungsi. "Kami sangat membutuhkan dukungan," katanya mengacu pada penutupan Israel pada 10 Mei di perbatasan yang digunakan untuk membawa bantuan kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement