Selasa 18 May 2021 13:56 WIB

WHO Peringatkan Situasi Mengerikan di Tigray

Banyak orang dilaporkan sekarat karena kelaparan, hingga ancaman pemerkosaan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
 Gambar ini dibuat dari video tak bertanggal yang dirilis oleh Kantor Berita Ethiopia milik negara pada hari Senin, 16 November 2020 menunjukkan militer Ethiopia dalam pengangkut personel lapis baja, di sebuah jalan di daerah dekat perbatasan wilayah Tigray dan Amhara di Ethiopia. Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengatakan dalam sebuah posting media sosial pada hari Selasa, 17 November 2020 itu.
Foto: AP/Ethiopian News Agency
Gambar ini dibuat dari video tak bertanggal yang dirilis oleh Kantor Berita Ethiopia milik negara pada hari Senin, 16 November 2020 menunjukkan militer Ethiopia dalam pengangkut personel lapis baja, di sebuah jalan di daerah dekat perbatasan wilayah Tigray dan Amhara di Ethiopia. Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengatakan dalam sebuah posting media sosial pada hari Selasa, 17 November 2020 itu.

REPUBLIKA.CO.ID, MEKELLE -- Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, wilayah Tigray yang dilanda konflik Ethiopia sedang menghadapi situasi mengerikan. Banyak orang-orang di sana sekarat karena kelaparan, layanan kesehatan yang hancur, hingga pemerkosaan merajalela.

"Situasi di Tigray, Ethiopia, jika saya menggunakan satu kata, mengerikan. Sangat mengerikan," ujar Tedros seperti dikutip laman Aljazirah, Selasa (18/5) waktu setempat.

Baca Juga

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengirim pasukan ke Tigray pada November tahun lalu. Ini dilakukan setelah ia menuduh partai pemerintah daerah Tigray mengatur serangan di kamp-kamp tentara federal.

Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Abiy mengumumkan kemenangan akhir bulan itu ketika tentara memasuki ibu kota wilayah Mekelle. Namun pertempuran terus berlanjut dan konflik enam bulan telah memicu tuduhan pembantaian dan pemerkosaan oleh pasukan Ethiopia dan pasukan dari negara tetangga Eritrea.

Tedros mencontohkan bahwa sekitar lima juta orang di wilayah tersebut sekarang membutuhkan bantuan kemanusiaan, terutama bantuan pangan. "Banyak orang sudah mulai meninggal, sebenarnya karena kelaparan, dan gizi buruk yang parah dan akut merajalela," katanya.

Selain itu, ratusan ribu orang telah mengungsi dari rumah mereka, termasuk lebih dari 60 ribu orang yang mengungsi ke Sudan. Pada saat yang sama, layanan kesehatan telah dijarah dan dihancurkan. Alat medis dan rumah sakit juga banyak yang tak berfungsi.

Tedros juga mengutuk pembunuhan tanpa pandang bulu dan meluasnya penggunaan kekerasan seksual dalam konflik tersebut. "Pemerkosaan merajalela. Saya rasa tidak ada skala sebesar itu di mana pun di dunia, sebenarnya," katanya.

Ditanya tentang situasi Covid-19 di wilayah asalnya, Tedros mengatakan tidak ada layanan untuk mengendalikan penyakit tersebut. Covid-19 di sana menurutnya bukan prioritas mengingat krisis lainnya.

"Untuk sebagian besar, kami bahkan tidak dalam posisi untuk membahas tentang COVID, jujur saja, karena ada masalah yang lebih mendesak," ujar Tedros.

Salah satu masalah yang paling mendesak untuk ditangani adalah mendapatkan akses penuh untuk pekerja kemanusiaan dan bantuan. Para pemimpin dunia dan badan bantuan telah berulang kali menyerukan akses kemanusiaan penuh ke daerah yang dilanda krisis karena kekhawatiran akan bencana yang akan datang.

Pada Jumat pekan lalu, Uni Eropa mengutuk berlanjutnya pemblokiran bantuan ke wilayah tersebut, dan mengecam penggunaan bantuan kemanusiaan sebagai senjata perang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement