Jumat 14 May 2021 15:45 WIB

Jurnalis Jepang Dibebaskan Junta Myanmar

Pemerintah Jepang telah meminta junta Myanmar untuk membebaskannya.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.
Foto: EPA
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Seorang jurnalis asal Jepang Yuki Kitazumi dilaporkan akan dibebaskan segera dari penahanan oleh junta. Yuki dituduh menyebarkan berita palsu dan ditahan di Myanmar bulan lalu.

Yuki Kitazumi adalah jurnalis asing pertama yang diketahui didakwa sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Februari. Pihak berwenang Myanmar bersikeras menuduh bahwa Yuki melanggar hukum, tetapi ia akan dibebaskan karena Jepang telah memintanya.

Baca Juga

Hampir 800 orang telah terbunuh dan ribuan ditahan, termasuk banyak jurnalis lokal, sejak kudeta. Yuki (45 tahun) ditangkap pada 18 April, ketika polisi menggerebek rumahnya di kota utama negara, Yangon. Dia sudah ditahan sebelumnya pada 26 Februari, namun hanya beberapa hari.

Jika terbukti bersalah, dia bisa menghadapi hukuman tiga tahun penjara. Namun Tokyo telah mendesak militer Myanmar untuk membebaskannya.

"Meskipun dia melanggar hukum, untuk berdamai dengan Jepang dan meningkatkan hubungan kami, tuduhan terhadapnya akan ditarik dan dia akan dibebaskan sejalan dengan permintaan Jepang," kata penyiar negara MRTV dikutip laman BBC, Jumat (14/5).

Informasi tersebut menambahkan bahwa penyelidikan telah menemukan jurnalis tersebut mendukung protes. Yuki bekerja sebagai jurnalis lepas dan pelaporan untuk banyak media utama Jepang. Dia tampil sebagai reporter asing dari dalam Myanmar.

Selain meliput kudeta dan protes serta pembunuhan untuk surat kabar dan penyiar Jepang, dia juga sering mengunggah tentang situasi dan dampak kudeta terhadap warga di akun media sosialnya. Protes massal telah terjadi di seluruh Myanmar sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun.

Selama berbulan-bulan demonstrasi, pihak berwenang telah menindak para pengunjuk rasa dan juga kebebasan pers. Sekitar 80 jurnalis lokal diketahui telah ditahan karena pemberitaan. Menurut kelompok pemantau Asosiasi Pendamping Narapidana Politik (AAPP), 50 dari mereka masih dalam tahanan dan setengah dari mereka telah diadili.

Beberapa jurnalis asing juga telah ditangkap. Angkatan bersenjata telah membenarkan pengambilalihan mereka dengan menuduh telah terjadi kecurangan yang meluas selama pemilihan umum akhir tahun lalu yang telah mengembalikan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ke tampuk kekuasaan. Sebagai gantinya, militer berjanji bahwa mereka akan mengadakan pemilihan yang "bebas dan adil" setelah keadaan darurat selesai.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement