Rabu 12 May 2021 12:03 WIB

Haruskah Bangunin Sahur Pakai Toa Masjid?

Zaskia Mecca yang mengomentari panggilan sahur menimbulkan polemik di masyarakat.

Aktris Zaskia Adya Mecca mengomentari cara membangunkan sahur lewat pengeras suara masjid.
Foto:

Gangguan Komunikasi

Mungkinkah pesan yang dikirimkan gagal dimaknai oleh penerima? Sangat mungkin. Dalam ilmu komunikasi dikenal istilah noise atau gangguan yang dapat mendistorsi isi pesan.

Noise dapat berwujud banyak hal, salah satunya adalah gangguan psikologis. Hal ini terjadi karena komunikator belum menggali atau mencari tahu aspek psikologis dari si penerima pesan.

Dalam konteks panggilan sahur di atas, si muazin bertindak sebagai pengirim pesan dan Zaskia sebagai penerima di mana simbolnya adalah teriakan “Sahurrryeaa!”.  Lantas mengapa maksud baik si muazin yang ingin membangunkan Zaskia sahur dengan cara unik itu justru direspons negatif oleh Zaskia? Hal ini karena Zaskia ada pada "posisi psikologis" yang berbeda.

Menjadi polemik karena Zaskia adalah tokoh publik dan orang-orang yang sependapat dengan Zaskia ternyata ada banyak. Aspek ini yang tidak diketahui oleh si muazin.

Mungkin saja cara pandang Zaskia akan berbeda ketika si muazin menyajikan panggilan sahur dengan cara yang berbeda pula. Tidak berteriak-teriak sambil berimprovisasi, melainkan bersuara merdu dan santun sebagaimana yang dilakukan Bilal bin Rabah pada zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu. Tentu, yang mendengarkannya pun akan merasa nyaman dan berpikir dua kali untuk protes.

Selain psikologis, faktor lain yang tak kalah penting adalah kultural budaya. Ini berkaitan dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap yang dipegang orang lain.

Sebagai bangsa yang bhineka, faktor ini seharusnya sudah sangat terang benderang. Sejak bangsa ini merdeka kita sudah sepakat bahwa kita adalah bangsa yang majemuk termasuk dalam hal beragama.

Namun, dalam kasus panggilan sahur sambil teriak-teriak dan membuat bising, kesepahaman bersama tersebut tidak bekerja. Seharusnya, si muazin memahami yang akan mendengar (dan berpotensi terganggu) bukan hanya umat Islam, melainkan juga penganut agama lain. Nilai-nilai ini jugalah yang dipegang oleh Zaskia sehingga ia merasa perlu untuk mengangkat isu ini.

Gangguan yang terjadi tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya kegagalan komunikasi. Praktisi komunikasi menyebutnya sebagai kegagalan komunikasi primer.

Kegagalan ini dapat naik menjadi sekunder jika hubungan di antara komunikan rusak. Padahal, setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan sekadar menyampaikan isi pesan, tetapi juga menentukan kadar hubungan kita.

Meskipun demikian, gangguan komunikasi tersebut dapat dihilangkan dengan cara memahami dan mengoreksi diri masing-masing. Hal ini sesungguhnya sudah terjadi dalam kasus Zaskia dan si muazin. Mereka telah bertemu dan saling berdialog.

Mereka sepakat membangunkan sahur adalah niat yang mulia, tetapi ditempuh dengan cara yang kurang tepat. Si muazin mengakui dan sudah berjanji akan menggunakan cara yang lebih elegan.

PENGIRIM: Abdul Rahman, Praktisi Public Relation, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Jakarta

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement