Ahad 16 May 2021 10:22 WIB

Menang dari Ketidakwarasan Kolektif

Usai puasa Ramadhan semestinya membawa kita terbebas dari ketidakwarasan kolektif.

 Idul Fitri. Ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Idul Fitri. Ilustrasi

Oleh : Tamsil Linrung, Senator DPD RI - Komite III Membidangi Sektor Pendidikan

REPUBLIKA.CO.ID, Ritus Hari Raya Idul Fitri menandai puncak perayaan spiritual. Tonggak kemenangan mengendalikan hawa nafsu setelah sebulan lamanya menunaikan ibadah puasa, dan menegakkan rangkaian ibadah tambahan (nafilah) lainnya. Lebaran merupakan momen deklarasi kolektif, bahwa kita, bisa kuat dan kompak menegakkan nilai-nilai yang diyakini dan telah disepakati.

Dalam nash-nash agama, disebutkan bahwa ibadah puasa yang kita jalani sebulan suntuk merupakan ritual yang secara vertical inline antara kita sebagai hamba dengan Rabb Yang Maha Kuasa. Puasa sarat nilai-nilai yang sifatnya sangat personal.

Terutama kejujuran, kepatuhan, dan merasa selalu dipantau oleh Yang Maha Mengetahui. Dalam bahasa nubuwah, kita kenal sebagai sifat ihsan.

Hal ini diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW : “Ihsan adalah anda mengabdi kepada Allah SWT seolah-olah anda melihat-Nya, dan andai anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihat anda.” Terminologi Ihsan, dalam kehidupan kontemporer membentuk kristalisasi nilai yang populer kita kenal dengan istilah integritas.

Kita, dan 1,9 miliar umat Islam di berbagai belahan dunia dituntun oleh keyakinan dan iman. Serempak dan sukarela. Tertib mengikuti seluruh rambu-rambu puasa dan rangkaian ibadah di bulan Ramadhan.

Kita melakoninya secara disiplin. Sahur, buka puasa, tilawatil Quran dan sholat malam pada waktu-waktu yang telah digariskan syariat. Di bulan Ramadhan, kita menggembleng diri-diri kita menjadi sosok berintegritas. Kemenangan itulah yang kita besarkan dan tinggikan di Idul Fitri.

Maka dalam konteks kehidupan bernegara, Hari Raya Idul Fitri semestinya memacu seluruh elemen bangsa untuk konsisten menegakkan integritas. Teguh dan lurus dalam menerapkan nilai dan norma kebangsaan yang akhir-akhir ini tampak semakin suram. Dicampakkan.

Ramadhan, seharusnya telah sukses menempa kita menjadi sosok-sosok yang peduli pada problematika bangsa. Sikap keberagamaan terbaik bukanlah menikmati lezatnya asupan spiritualitas seorang diri. Namun mengaktualisasikan nilai-nilai itu secara distributif.

Multidimensi dekadensi kehidupan terjadi ketika orang-orang baik, orang-orang saleh diam berpangku tangan. Apatis dengan situasi yang terjadi. Atau, dalam perspektif struktural, pranata-pranata kekuasaan dibajak menjadi kaki tangan kejahatan.

Maka dalam banyak ayat, baik yang tersurat maupun secara tersirat, terminologi agama tentang responsivitas memberikan penekanan pentingnya kekuatan kolektif untuk memperbaiki keadaan. Allah SWT berfirman di dalam Al Quran surat Adz Dzariyat ayat 55 : “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”

Dalam konteks itulah, di momen-momen sakral bertabur berkah 10 hari terakhir Ramadhan kemarin, saya memprakarsai satu pertemuan di kawasan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM). Ini merupakan ajang silaturahim kebangsaan. Dalam tradisi dan kearifan lokal Bugis-Makassar dikenal sebagai tudang sipulung. Duduk bersama untuk mencari solusi-solusi bangsa.

Belasan tokoh hadir dalam pertemuan itu. Antara lain, La Nyalla Mattalitti (Ketua DPD RI) yang tampil menyampaikan berbagai program dan upaya kelembagaan DPD dalam menyuarakan dan mengadvokasi kepentingan rakyat. Khususnya aspirasi daerah. Ada pula mantan Panglima TNI Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo yang menyoroti situasi kebangsaan kontemporer. Terutama terkait kedaulatan dan dinamika global akibat pandemi Covid-19.

Tak ketinggalan, ekonom kawakan, Dr. Rizal Ramli yang juga Menko Kemaritiman 2015-2016, dan Menkeu 2001 dan Menko Ekuin 2000-2001. Membagikan pandangan bagaimana agar Indonesia keluar dari kemelut ekonomi. Terutama resesi dan krisis multidimensi yang situasinya semakin mencekam. Selain tiga tokoh terbaik bangsa tersebut, hadir juga sederet cendekiawan dan aktivis yang lain.

Silaturahim yang kemudian oleh media disebut sebagai “Poros Serpong” itu, menyoroti....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement