Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tasya Saffa Diandra

Tren Kawat Gigi, Waspada Tendensi Berujung Tragedi

Gaya Hidup | Tuesday, 11 May 2021, 14:46 WIB
Proses perawatan kawat gigi oleh profesional. (TSD)

Di kota-kota besar di Indonesia, masyarakatnya pasti sudah tak asing lagi dengan istilah kawat gigi/behel. Sering kali kita jumpai senyuman yang berhiaskan kawat entah pada kalangan wanita, pria, usia muda hingga dewasa sekalipun. Menurut Dokter Gigi Audrey , behel atau kawat gigi adalah sebuah tindakan orthodonti yang bertujuan untuk menata kembali struktur gigi sehingga nantinya dapat memperbaiki bentuk dari wajah para penggunanya.

Berbanding terbalik dengan zaman dahulu, behel mulanya merupakan hal yang memalukan, para penggunanya terkadang diolok-olok hingga merasa tak percaya diri untuk menggunakannya. Bahkan sampai sekarang film-film barat pun masih kerap menggambarkan para kutu buku dengan behel dan kacamatanya.

Behel pada masa sekarang dinilai keren, mewah, dan termasuk kedalam sebuah tren gaya hidup. Yang tadinya behel digunakan untuk tindakan perawatan gigi kini beralih fungsi menjadi fesyen. Menyadari tren ini, tak sedikit oknum nakal yang membuka bisnis dadakan sebagai tukang gigi. Para tukang gigi ini berpraktik selayaknya dokter profesional. Mereka menyediakan tindakan cabut gigi, veneer, behel, dan masih banyak lagi.

Tanpa ilmu, tanpa alat-alat yang memadai, dan tanpa surat izin praktik mereka membuka bisnisnya tersebut di pinggir-pinggir jalan. Harga yang jauh lebih murah tentu menarik minat para pengejar tren behel ini. Heru (38), salah satu penggelut bisnis tukang gigi di Jatinegara, Jakarta Timur menjelaskan bahwa ia menawarkan harga yang jauh lebih murah daripada dokter gigi profesional.

Pemasangan behel di tempatnya hanya dipungut biaya sebesar satu juta rupiah, sedangkan menurut seorang mahasiswi pengguna behel, Ratri (20), biaya tersebut sangat jauh dari biayanya memasang behel di rumah sakit di Jakarta Selatan yang sekiranya harga pemasangannya bisa sepuluh kali lipat dari harga yang ditawarkan Heru.

Menurut Dian, Dokter Gigi Spesialis Penyakit Mulut, behel yang dipasang oleh dokter profesional saja masih bisa menimbulkan beberapa penyakit mulut jika tidak dirawat, apalagi behel yang tidak dipasang oleh profesional. Behel yang dipasang oleh tukang gigi terkadang terlalu kencang tarikannya, sehingga malah dapat memperburuk susunan gigi. Veneer gigi yang asal tempel juga bisa menimbulkan karang gigi dan bakteri-bakteri lainnya.

Kalo kata dokter yang menangani saya, memang sih ke tukang gigi biayanya lebih murah, tapi percuma, nanti kalo udah timbul masalah lalu pergi ke dokter gigi, ternyata sudah ada kerusakan dari tindakan si tukang gigi, si pasien jadi lebih mahal bayar perawatan kerusakannya jatuhnya ujar Ratri saat diwawancarai melalui telepon.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) juga sudah membuat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 tahun 2014 yang berisikan tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjaan tukang gigi. Peraturan ini dibuat karena banyaknya lapran keluhan korban oknum-oknum tukang gigi yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah tetap memperbolehkan tukang gigi berpraktik namun, hanya dalam membuat serta memasang gigi palsu berbahan akrilik. Disamping itu, praktik tukang gigi juga masih dibatasi. Para tukang gigi yang ingin terus melanjutkan praktiknya harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah atau Dinas Kesehatan setempat. Meski praktik para tukang gigi ini dibatasi, hal ini tidak menjamin praktik diluar kewenangan tukang gigi akan berjalan sesuai peraturan. Oleh karenanya, pilihan ini diserahkan lagi kepada masyarakat, pahami betul sebelum memilih perawatan orthodonti. (TSD)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image