Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nur hasan murtiaji

Sang Pemangkas Mahkota

Sejarah | Monday, 12 Apr 2021, 11:40 WIB
Ilustrasi

Oleh Nur Hasan Murtiaji

Suara berderit terasa menggelitik telinga ketika pintu geser itu ditarik. Tak terhitung berapa ratus, mungkin juta kali pintu itu berpindah, buka tutup. Aroma khas rambut tercium.

Empat kursi, dua kursi hitam berangka besi, teronggok di sudut ruangan. Dua kursi lain yang terbuat dari plastik, menyambut tamu yang datang. Di ruang berukuran dua kali lima meter inilah Ramdan menyambung hidup.

Di tengah ganasnya Ibu Kota, Ramdan, pemuda asal Garut, Jawa Barat, ini menggeluti profesinya: tukang pangkas rambut. Pria bujang yang kini menginjak usia 22 tahun ini sudah lima tahun memangkas rambut, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai mahkota.

Bapak dan tiga kakak saya lainnya juga menjadi tukang cukur rambut, kata Ramdan membuka pembicaraan. Ya, Ramdan mengaku tak menempuh jenjang pendidikan khusus untuk menjadikannya pemangkas mahkota.

Bapak dan terkadang kakak saya yang mengajari, Ramdan membuka rahasia dirinya. Keluarga Ramdan tergolong unik. Seluruh abangnya mengikuti jejak sang ayah, tak ketinggalan dirinya. Kecuali dua kakak perempuan saya.

Ayahnya membuka pangkas rambut di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Di sanalah, ayah Ramdan yang kini berusia 59 tahun mendapatkan pemasukan untuk menghidupi enam anak dan seorang istrinya.

Tiga abangnya tak mau kalah. Mereka pun punya outlet pangkas rambut, masing-masing di Setiabudi, Blok M, Jakarta Selatan; dan di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Pengakuan Ramdan pun cukup mengejutkan, karena banyak di antara temannya satu kampung di Situbagendit, Garut, yang berprofesi sebagai tukang pangkas. Kendati, dia tak menyebut detail berapa jumlahnya.

Awalnya memang tak mudah bagi Ramdan menjalani profesinya ini. Lima bulan sempat jadi tukang pangkas rambut di Jatake, Tangerang. Tapi nggak kerasan Mas di sana, katanya.

Dua bulan pun pernah dijalaninya sebagai tukang cukup di Bandung, Jawa Barat. Tapi lagi-lagi keberuntungan dan jodoh belum berpihak padanya. Dia merasa tak nyaman kerja di tempat itu.

Hingga kemudian, tawaran dari Agus, temannya seprofesi, diterimanya. Ramdan menggantikannya sebagai tukang cukur di Rawa Bambu, Pasar Minggu ,Jakarta Selatan. Pak Andrian, pemilik tempat cukur ini setuju saya gantiin Agus, ucap Ramdan mengenang kali pertama dia jadi tukang pangkas di Belladona ini.

Sebagai pendatang di Ibu Kota, pria kurus dengan gigi depan menonjol keluar ini tak pilah pilih dalam mencari rezeki. Yang penting halal Mas, katanya.

Apalagi, di tempatnya bekerja dia sama sekali tak bermodal. Pisau cukur, ruangan ber-AC, sabun, handuk, dan peralatan pangkas lainnya dimodali Pak Andri, pemilik tempat cukur itu. Praktis saya hanya bermodal tenaga, ungkap Ramdan.

Pembagian keuntungan pun dia serahkan sepenuhnya kepada sang tuan. Enam puluh persen bagi pemilik, dan dia mendapat bagian 40 persen dari pendapatan setiap harinya. Setiap hari saya setorkan bagian untuk Pak Andri.

Profesi sebagai tenaga marketing, memang pernah dilakoni Ramdan. Waktu itu selepas SMA Muhammadiyah di Garut, Ramdan coba-coba ngelamar ke sebuah perusahaan. Tapi kerjanya ribet gitu, ya udah kembali jadi tukang cukur aja, kata Ramdan.

Memang, pendapatannya kini tak seberapa. Dia bercerita, pernah dalam sehari, hanya ada lima kepala yang dipangkas rambutnya. Jika sekepala diharga Rp 12 ribu, berarti Rp 60 ribu dia dapat. Itu pun hanya Rp 24 ribu yang dikantonginya, selebihnya menjadi bagian Pak Andri.

Pengen sih kerja dengan gaji lebih tinggi, tapi ya sudahlah, yang sekarang aja dijalani, katanya polos. Tapi, Ramdan tak pendek asa. Dia bercita-cita kelak, punya tempat cukur sendiri yang jauh lebih nyaman dari saat ini.

Sekarang kumpulin modal dulu. Saya juga tak ingin selamanya bergantung pada orang, Ramdan bercita-cita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image