Selasa 11 May 2021 01:45 WIB

Dilema Perusahaan Telekomunikasi Asing di Myanmar

Telenor, salah satu operator di Myanmar alami kerugian sejak kudeta militer.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.
Foto: EPA
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Penutupan operator telekomunikasi oleh junta militer Myanmar, menimbulkan dilema bagi perusahaan telekomunikasi Barat. Salah satunya yaitu perusahaan telekomunikasi Telenor asal Norwegia.

Sejak milite Myanmar menutup jaringan komunikasi, Telenor telah mengalami kerugian. Pada pekan ini, Telenor mengalami kerugian 783 miliar dolar AS.

Baca Juga

Telenor merupakan salah satu investor asing terbesar di Myanmar. Saat ini perusahaan harus memutuskan apakah akan keluar dari kekacauan, atau menarik diri dari pasar yang tahun lalu menyumbang 7 persen dari pendapatannya.

"Kami menghadapi banyak dilema," ujar Kepala Eksekutif Telenor Sigve Brekke mengatakan kepada Reuters pekan ini.

Brekke menyoroti masalah yang dihadapi perusahaan internasional di bawah pengawasan yang meningkat di Myanmar. Brekke mengatakan, sejauh ini Telenor belum memiliki rencana untuk hengkang dari Myanmar.

Meskipun Telenor mendapat pujian karena mendukung demokrasi, kelompok aktivis telah lama menyuarakan keprihatinan tentang hubungan bisnis dengan militer. Hubungan bisnis tersebut telah meningkat sejak tentara mengambil alih kendali negara.

Pakar PBB tentang Myanmar, Chris Sidoti mengatakan, Telenor harus menghindari pembayaran pajak atau biaya lisensi yang dapat mendanai militer.

Telenor saat ini menghadapi beberapa dilema di Myanmar.....

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement