Jumat 07 May 2021 13:28 WIB

Psikologi Nekat Mudik

Salah satu faktor adalah budaya perkotaan yang cenderung individualistik.

Petugas gabungan menghalau pemudik sepeda motor saat hari pertama penyekatan larangan mudik di Karawang, Jawa Barat, Kamis (6/5/2020). Penyekatan akses transportasi tersebut sebagai tindak lanjut kebijakan larangan mudik Lebaran pada 6 -17 Mei 2021 yang berlaku bagi kendaraan pribadi, angkutan umum dan motor kecuali mobil pemadam kebakaran, angkutan logistik dan kebutuhan pokok serta ambulans.
Foto: ANTARA/M Ibnu Chazar
Petugas gabungan menghalau pemudik sepeda motor saat hari pertama penyekatan larangan mudik di Karawang, Jawa Barat, Kamis (6/5/2020). Penyekatan akses transportasi tersebut sebagai tindak lanjut kebijakan larangan mudik Lebaran pada 6 -17 Mei 2021 yang berlaku bagi kendaraan pribadi, angkutan umum dan motor kecuali mobil pemadam kebakaran, angkutan logistik dan kebutuhan pokok serta ambulans.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Pemerintah resmi melarang masyarakat mudik. Larangan ini berlaku sejak tanggal 6-17 Mei 2021. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021. Isinya selain larangan mudik, juga ada sanksi untuk orang-orang yang nekat mudik pada periode tersebut. 

Namun, survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub) baru-baru ini menunjukkan bahwa, tetap saja ada masyarakat yang nekat mudik. Jumlahnya sangat banyak, yaitu sekitar 18 juta orang. Mereka tidak peduli dengan sanksi mudik dari pemerintah. Itulah mengapa saya menyebut mereka sebagai orang-orang nekat. Kebanyakan mereka ingin mudik ke Jawa Tengah (lebih dari 30 persen) dan Jawa Barat (lebih dari 20 persen). 

Kenyataan tersebut dapat ditafsirkan macam-macam. Pemerintah boleh saja mengatakan bahwa larangan mudik tersebut efektif. Memang ada benarnya jika dilihat dari data statistik Kemenhub. 18 juta orang yang memutuskan ingin mudik itu kisarannya hanya 7 persen saja dari populasi. Apalagi data statistik Kemenhub juga menunjukkan bahwa sebelum ada larangan mudik, persentase orang yang ingin mudik adalah 33 persen. Begitu ada larangan mudik, turun menjadi 7 persen saja. 

Namun data statistik Kemenhub itu juga dapat ditafsirkan berbeda. 18 juta manusia yang bergerak bersamaan, dalam periode yang relatif sama, secara psikologis tetaplah "banyak". Apalagi di era pandemi! Ada potensi bahaya yang besar akibat pergerakan tersebut. Bahaya bagi orang-orang yang ada di daerah tujuan mudik. Bahaya pula bagi 18 juta orang-orang nekat tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "nekat" artinya berkeras hati atau terlalu berani. Secara Bahasa, arti nekat cukup menggambarkan perilaku mudik 18 juta dalam survey Kemenhub. Arti "nekat" dalam KBBI juga bernuansa psikologis. 

Ada 18 juta orang yang berkeras hati ingin mudik walaupun dilarang pemerintah. Mereka tidak peduli dengan resiko karena pelanggaran tersebut. Itu artinya, keberanian mereka di atas rata-rata. Begitulah kira-kira kondisi psikologis 18 juta orang yang mudik mulai 6 mei 2021. Paling tidak ada tiga faktor psikologis yang memunculkan keberanian di atas rata-rata itu: (1) Faktor dalam diri, (2) Faktor luar diri, dan (3) Faktor Budaya.

Faktor dalam diri: Seeing is believing

Tidak dapat dipungkiri, Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 berkaitan erat dengan pandemi Covid-19. Pemerintah melarang (baca: membatasi) mudik untuk mencegah penularan Covid-19. Asumsinya adalah, virus ini berbahaya, sehingga penularannya sebisa mungkin harus dicegah.  

Namun bagi 18 juta orang pemudik itu, asumsinya mungkin berbeda. Keberanian mereka tumbuh karena berpikir sebaliknya: Covid-19 tidak berbahaya! Asumsi ini mudah sekali dicari buktinya. Banyak masyarakat yang sampai hari ini menganggap Covid-19 tidak ada. Atau menganggap bahwa Covid-19 ada tapi tidak berbahaya. Mungkin semacam, influenza biasa yang diberi nama berbeda, agar masyarakat takut. Dan lain sebagainya. 

Berdasarkan riset "kecil-kecilan" yang kami lakukan, anggapan tersebut bersumber pada mentalitas "mempercayai apa yang dilihat". Atau bahasa kerennya seeing is believing. 

Dalam obrolan dengan mereka yang tidak percaya, atau tidak begitu percaya bahaya Covid-19, terungkap bahwa alasan mereka didasarkan pada hal-hal yang bersifat empiris. Misalnya, mereka mengatakan bahwa tidak ada teman, tetangga, atau orang-orang dekatnya yang kena Covid, walaupun tidak melaksanakan protokol kesehatan. Tidak jaga jarak, tidak cuci tangan, dan tidak pakai masker maksud mereka! 

Atau ada juga yang mengatakan, memang ada beberapa teman-temannya yang kena Covid-19, tapi semuanya sembuh dengan sendirinya. Kalau yang agak ilmiah, biasanya menunjukkan update perkembangan kasus Covid-19 yang dikeluarkan rutin oleh Kementrian Kesehatan. Mereka akan menunjukkan fakta bahwa 90 persen orang yang kena Covid-19 sembuh.

Kelompok ini tidak akan serujuk dengan kelompok lain yang kekeuh mengatakan Covid-19 ini sangat berbahaya. Contohnya kelompok dokter dan praktisi kesehatan yang semenjak pandemi Covid-19 ini, banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Bagi saya, wajar kalau kelompok ini berbeda pendapat. Lha wong setiap hari di rumah sakit yang isinya pasien-pasien Covid-19 kategori "parah".  Mereka hanya melihat yang sudah parah-parah saja. Kalau sudah pulang ke rumah, tidak sempat srawung (kumpul-kumpul) dengan masyarakat karena sudah lelah. Padahal kalau sempat srawung, mungkin persepsinya akan berubah juga.

Artinya, dua kelompok ekstrem ini mengalami fenomena seeing is believing. Hanya efeknya saja yang beda. Dokter dan kawan-kawan jadi cenderung berhati-hati (untuk tidak mengatakan "takut"), sebaliknya 18 juta orang ini malah over confident alias terlalu berani! Itu semua terjadi karena manusia punya kecenderungan mempercayai apa yang dilihatnya secara langsung.

Faktor luar diri: Subjective Utility 

Orang yang nekat mudik di masa pandemi punya perhitungan rasional. Dalam ilmu psikologi, perhitungan rasional ini disebut dengan Subjective Utility (SU). Menurut seorang ahli yang bernama John S Carroll, SU adalah pertimbangan rasional-analitis seseorang sebelum memutuskan melawan otoritas atau hukum. Tentu dalam konteks ini adalah melawan larangan pemerintah untuk mudik. 

SU dipengaruhi oleh empat faktor. Faktor pertama adalah Probability of Success (p(S)). p(S) ialah pertimbangan pemudik nekat sejauh mana ia akan sukses menembus barikade penjagaan polisi. Faktor kedua adalah Gain (G). G ialah pertimbangan besar-kecilnya keuntungan yang akan diperoleh pemudik nekat ketika berhasil menembus penjagaan polisi di batas-batas kota. Faktor ketiga adalah Probability of Fail (F). F ialah pertimbangan pemudik nekat jika gagal mudik atau terkena razia polisi. Faktor keempat adalah Loss (L). L adalah kerugian yang dialami pemudik nekat ketika terkena razia polisi. 

Jika digambarkan dalam sebuah rumus perilaku, maka rumus psikologis pemudik nekat adalah sebagai berikut:

SU = [ (p(S) x G) – (p(F) x L) ]

Perhitungannya sederhana. Jika secara perseptual, orang merasa bahwa (p(F) x L) > (p(S) x G), maka ia tidak akan nekat mudik. Sebaliknya, jika orang-orang secara perseptual merasa bahwa (p(S) x G) > (p(F) x L), maka ia akan menjadi pemudik nekat. 

18 juta orang memutuskan mudik karena mereka mempersepsi p(F) tinggi (sekaligus mempersepsi bahwa p(F) rendah). Mereka merasa sanggup menembus pertahanan aparat di batas-batas kota, dan jalan-jalan tikus. Ini disebabkan masih berkembang persepsi dalam masyarakat, bahwa segala urusan dengan polisi dapat diselesaikan dengan "uang". Maksudnya, masih banyak anggapan d masyarakat, bahwa polisi masih dapat "disogok". Bahkan jika kita googling dengan kata kunci "pungli aparat", 5.800.000 (lima juta delapan ratus) berita terkait. Bahkan ditampilkan 306 ribu video yang menampilkan berita-berita terkait pungli oknum-oknum polisi. Dengan demikian, asal ada uang, maka penjagaan apparat pun bisa ditembus. Begitu persepsi mereka.

Pemudik nekat juga menganggap bahwa mereka akan mendapatkan G yang tinggi jika mudik, sekaligus merasa bahwa akan mendapatkan L yang besar jika tidak mudik. Seperti yang sudah kita lihat di berbagai berita dan video citizen journalism, bahwa salah satu faktor yang sering diungkapkan pemudik nekat adalah masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

Banyak di antara pemudik nekat yang terkena PHK di masa pandemi ini. Mau tidak mau, mudik adalah pilihan paling rasional daripada tetap tinggal di ibu kota. Jika tetap tinggal di ibu kota, mereka bisa mati kelaparan, atau jadi gelandangan (L tinggi). Namun jika berhasil mudik, maka paling tidak ada keluarga mereka di kampung yang mengurusi hajat hidup mereka (G), dan terhindar dari kelaparan dan menggelandang di ibu kota (L menjadi rendah jika nekat mudik). 

Lagipula, hukuman (L) yang diterima seandainya tertangkap razia pun dipersepsi ringan, hanya putas balik atau membayar sejumlah denda saja. Dan seperti anggapan biasa, denda ini bisa "dinegosiasikan" di lapangan dengan polisi. Artinya L tetap saja dianggap rendah. Dengan demikian, nekat mudik adalah usaha untuk meningkatkan G dan membuat L menjadi rendah.   Dengan perhitungan rasional-subjektif (SU) yang demikian, maka muncullah perilaku nekat mudik pada diri 18 juta orang Indonesia. 

Faktor budaya

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya meyakinkan setiap orang untuk menunda mudiknya adalah budaya perkotaan yang cenderung individualistik. Saya sebut masyarakat kota karena dua alasan. Pertama pemudik umumnya tinggal di kota dan mudik ke desa. Kedua, masyarakat yang tinggal di kota umumnya lebih well-informed tentang apa itu Covid-19 dan bahayanya. Namun,  budaya kota yang individualistik menyebabkan masyarakatnya cenderung tidak care dengan urusan orang lain. Asal urusan dirinya sudah baik, maka tidak perlu mengurusi urusan orang lain. 

Itulah sebabnya, timbul kesan yang dominan, bahwa urusan mengingatkan masyarakat soal bahya penularan Covid-19 adalah urusan Satgas Covid-19 saja. Jarang ada masyarakat kota yang suka rela mengingatkan tetangganya akan bahaya penularan Covid-19. Atau membantu memberi bantuan finasial dan materi kepada tetangganya yang barus saja di PHK, agar ia tidak pulang kampung. 

Tentu ada juga sebagian kecil netizen yang peduli dan mengingatkan orang lain di medosos. Sayangnya, tabiat percakapan medsos Indonesia sering kebablasan menjadi perdebatan, pertengkaran, dan olok-olok. Itulah sebabnya, masalah Covid-19 jika diserahkan kepada netizen, malah berkembang menjadi perdebatan apakah Covid-19 ini alami atau konspirasi. Sehingga edukasi tidak berjalan efektif di dunia maya. Bahkan cenderung destruktif.   

Kerja tambahan Satgas Covid-19 dan pemerintah

Saya sandiri yakin, akan sangat banyak sekali pemudik yang berhasil lolos dari razia aparat. Bukan karena aparat mudah "disogok", atau karena pemudik nekat lebih pintar mencari "jalur tikus", namun lebih pada perbandingan jumlah aparat dan pemudik nekat. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa jumlah polisi di Indonesia ada sekitar 470.391 personel. Jumlah ini mencakup semua jenjang. Artinya, "polisi-polisi lapangan" yang bertugas merazia pemudik, lebih kecil dari jumlah tersebut. 

Jika dibuat perbandingan, maka jumlah polisi hanya sekitar 3 persen dari jumlah pemudik nekat yang 18 juta orang itu. Faktor kelelahan polisi di lapangan bisa jadi akan memunculkan sifat manusiawi mereka. Sangat mungkin polisi melepaskan pemudik nekat karena dirinya pun sudah sangat lelah berjaga-jaga. Secara psikologis, Lelah dapat menurunkan ketaatan seseorang pada pemimpin dan aturan. Atau juga dapat memunculkan emosi-emosi yang manusiawi. Polisi bisa saja muncul perasaan ibanya dan melepaskan pemudik nekat. Sebenarnya rasa iba itu muncul dari kelelahan fisiknya sendiri. 

Jika yang terjadi demikian, maka ada kerja tambahan buat Satgas Covid-19 di tingkat bawah. Mereka pelu mendata dan memperlakukan pemudik nekat ini sesuai aturan yang berlaku. 

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa orang-orang yang tidak mudik jauh lebih banyak. Dan di antara mereka mungkin juga orang-orang yang rentan secara finansial. Pemerintah perlu membaca situasi tersebut dalam kacamata pertahanan keamanan. Orang-orang yang memutuskan tidak mudik sebenarnya ingin mudik, tapi takut dengan ancaman pemerintah. 

Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan stress sosial. Apalagi jika mereka juga rentan secara finansial. Stres sosial tersebut jika tidak segera diatasi berpotensi menjadi konflik sosial. Sebagai contoh, karena mereka lapar dan kangen keluarga, maka mereka melampiaskannya dengan melakukan kriminalitas. Bisa mencuri, merampok, atau membunuh orang lain di ibu kota. 

Jika berpikir lebih konspiratif lagi, orang-orang yang gagal mudik ini akan mudah diprovokasi oleh intelijen asing untuk melakukan kerusuhan. Jumlah mereka banyak, tinggal di ibu kota, dan stres. Sebuah kondisi ideal bagi intelijen negara asing yang ingin membuat kerusuhan di Indonesia.

Yang perlu dilakukan 

Jika kita komitmen pada ilmu pengetahuan, maka paling tidak kita akan menganggap bahwa nekat mudik memiliki risiko dalam penyebaran Covid-19. Masyarakat perlu meningkatkan kepedulian sosialnya dalam mengedukasi orang-orang terdekatnya yang saat ini tidak mudik. Karena boleh jadi, mereka berubah pikiran, dan memutuskan mudik beberapa hari ke depan. 

Edukasi penting, agar pemudik potensial ini mempersepsi bahwa keuntungan tidak mudik jauh lebih tinggi dibandingkan jika mereka mudik. Dan yang paling penting adalah sekuat tenaga memberikan bantuan finansial dan sembako kepada orang-orang perantauan yang gagal mudik. Hal ini penting agar mereka tidak berpikir untuk melampiaskan stres sosialnya ke arah kriminalitas. Netizen juga perlu melatih untuk mengurangi perdebatan-perdebatan tidak perlu, terutama terkait Covid-19 ini. Fokuskan niat untuk mengedukasi orang lain saja, dan hindari perdebatan.

Untuk bapak-bapak aparat kepolisian yang berjaga-jaga di batas-batas kota dan jalan-jalan tikus, kami ucapkan selamat bertugas dan kami juga ucapkan terima kasih. Apa yang bapak-bapak lakukan saat ini hakikatnya bukan merazia pemudik nekat, namun menjaga kehidupan umat manusia. Tetap semangat dan bijaksana. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement