Rabu 05 May 2021 22:31 WIB

AJI Desak Polisi Usut Tuntas Intimidasi Jurnalis di Lampung

Jurnalis tersebut dikejar-kejar, diancam, dan diintimidasi beberapa preman.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Mas Alamil Huda
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar memakai topeng hitam saat mengikuti aksi Hari Kebebasan Pers Sedunia di bawah Jembatan Layang Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (3/5). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI Makassar tersebut menyerukan untuk menghentikan kekerasan dan ancaman bagi jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik.
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar memakai topeng hitam saat mengikuti aksi Hari Kebebasan Pers Sedunia di bawah Jembatan Layang Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (3/5). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI Makassar tersebut menyerukan untuk menghentikan kekerasan dan ancaman bagi jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengecam keras aksi intimidasi terhadap Yehezkiel Ngantung, jurnalis Metro TV Lampung yang bertugas di Kabupaten Lampung Barat. Saat meliput keributan di Pemkab Lampung Barat, jurnalis tersebut dikejar-kejar, diancam, dan diintimidasi beberapa preman.

“Korban telah melaporkan kasus ini ke Polres Lampung Barat. Kami mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut,” kata Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho dalam keterangan persnya yang diterima Republika.co.id,  Rabu (5/5).

Hendry mengatakan, peristiwa itu bermula ketika Yehezkiel menyaksikan kericuhan di depan kantor bagian Unit Layanan Pengadaan di kompleks Pemkab Lampung Barat, Selasa (4/5) siang. Instingnya sebagai jurnalis pun bekerja. Sambil mengatur jarak aman, Yehezkiel mendokumentasikan keributan tersebut.

Menyadari direkam, beberapa orang yang diduga oknum preman menghampiri Yehezkiel. Mereka melarang Yehezkiel mengambil gambar, bahkan berusaha merebut kamera sang jurnalis. Dalam situasi tersebut, korban mendengar perkataan bernada ancaman, “Jangan macam-macam. Saya pecahkan kepala kamu!”

“Keterangan korban, ada seseorang yang terus mengejarnya. Saat itu, korban melihat orang yang mengejarnya menyimpan pisau yang diselipkan di bagian pinggang,” ujar Hendry.

Ia meminta semua pihak menghormati aktivitas jurnalistik. Sebab, keberadaan jurnalis untuk menjaga dan memastikan hak-hak publik terpenuhi, di antaranya hak atas informasi. Selain itu, kerja-kerja jurnalisme dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Pasal 18 UU Pers mengatur bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi aktivitas jurnalistik dipidana penjara dua tahun atau denda Rp 500 juta,” kata dia.

Hendry mengimbau komunitas pers, termasuk perusahaan media, berkomitmen terhadap keselamatan jurnalis. Perlu upaya bersama-sama untuk memutus rantai kekerasan terhadap jurnalis. Bila tidak, maka kekerasan yang menimpa wartawan akan terus terulang.

“Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis membuktikan bahwa kebebasan pers itu mesti diperjuangkan. Jika memang serius dan peduli akan kebebasan pers, mari mengawal kasus kekerasan terhadap jurnalis agar diusut tuntas. Jangan menoleransi upaya-upaya yang mengarah pada perdamaian,” ujar Hendry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement