Rabu 05 May 2021 18:34 WIB

Alih Status ASN Digocek Firli Cs Jadi Skrining Pegawai KPK

Tes wawasan kebangsaan pegawai dinilai telah melampaui amanat UU KPK.

Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) bersama Irjen Kemenkeu Sumiyati (kiri) dan Dirjen Pajak Suryo Utomo (kanan) bersiap memulai konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/5/2021). KPK menetapkan Angin Prayitno Aji dan lima orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan tahun 2017 di Direktorat Jenderal Pajak.
Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) bersama Irjen Kemenkeu Sumiyati (kiri) dan Dirjen Pajak Suryo Utomo (kanan) bersiap memulai konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/5/2021). KPK menetapkan Angin Prayitno Aji dan lima orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan tahun 2017 di Direktorat Jenderal Pajak.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Haura Hafizhah

Inisiatif pimpinan KPK di bawah komando ketuanya, Firli Bahuri yang menggelar tes wawasan kebangsaan dikritisi oleh Koalisi Save KPK. Firli Bahuri cs dinilai telah melebihi amanat UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK terkait alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil nasional (ASN).

Baca Juga

Ketua YLBHI Asfinawati menilai, bahwa apa yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri dengan menggelar tes wawasan kebangsaan telah melampaui UU KPK. Ia menegaskan, UU KPK hasil revisi tidak menyebutkan perintah tes wawasan kebangsaan dalam peralihan status pegawai KPK.

"Jadi ketika pemberhentian itu dilakukan tidak melalui hukum maka memberhentikan orang melalui TWK itu ya melampaui wewenang dia," kata Asfinawati, Rabu (5/5).

 

Asfinawati berpendapat, tes tersebut merupakan serangan balasan dari para koruptor terhadap KPK. Dia meminta KPK segera mengumumkan hasil tes tersebut agar dapat segera membandingkan peran setiap orang dalam menjaga integritas KPK dalam agenda pemberantasan korupsi.

"Jadi sebenarnya pimpinan KPK sekarang adalah aktor lapangan untuk menuntaskan skenario pelemahan KPK," katanya.

Koalisi juga menilai Firli Bahuri memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk membuang para pegawai yang sedang menangani perkara besar melibatkan oknum-oknum yang sedang berkuasa.

"Langkah keliru Ketua KPK ini semakin menambah catatan suram lembaga antirasuah di bawah komandonya," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Rabu (5/5).

Dia mengatakan, Firli Bahuri selaku Ketua KPK wajib mematuhi aturan hukum dan putusan MK. Putusan, sambung dia, menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri.

Yang dilakukan KPK, kata Kurnia, seharusnya bukan menyeleksi tapi memberikan asesmen terhadap pegawai dalam peralihan status menjadi ASN tersebut. Namun, yang terjadi justru terbitnya Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 sebagai dasar tes wawasan kebangsaan.

"Kami juga meminta menghentikan segala bentuk pembusukan KPK dengan menyingkirkan pegawai-pegawai yang tercatat dalam sejarah adalah figur yang memiliki integritas dan komitmen tinggi bagi pemberantasan korupsi. Seharusnya hal-hal seperti ini diungkap dan diinvestigasi secara terbuka," katanya.

Seperti diketahui, berdasarkan informasi ada sejumlah pegawai KPK yang akan dipecat lantaran tidak lolos TWK. Mereka yang diberhentikan termasuk penyidik senior, Novel Baswedan, sejumlah kepala satuan tugas, pengurus inti wadah pegawai KPK serta pegawai KPK yang berintegritas dan berprestasi lainnya.

Dalam tes tersebut muncul sejumlah soal yang dinilai janggal lantaran tidak berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi pemebrantasan korupsi. Di antara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab, HTI, kepercayaan tionghoa, doa qunut dalam shalat hingga LGBT.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan, bahwa tes wawasan kebangsaan KPK semestinya tidak boleh dijadikan alat skrining ideologi seseorang untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dengan pemerintah.

"Itu sama saja mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990, ketika setiap pegawai negeri harus melalui litsus atau penelitian khusus atau bersih lingkungan yang diskriminatif. Mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadinya jelas merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (4/5).

Kemudian, ia melanjutkan, hal ini jelas melanggar hak sipil dan merupakan stigma kelompok yang sewenang-wenang. Dan menurut standar hak asasi manusia international maupun hukum di Indonesia, pekerja seharusnya dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya bukan kemurnian ideologisnya.

"Di masa lalu, litsus semacam ini menimbulkan masalah ideologis atas pendidikan dan menjauhkan banyak orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai negeri akibat kriteria yang tidak jelas dan diterapkan secara tidak merata. Mengapa hanya KPK? Ada apa?," kata dia.

photo
KPK - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement