Rabu 05 May 2021 08:00 WIB

Junta Myanmar Larang Tayangan Televisi Satelit

Larangan televisi satelit semakin membuat Myanmar terisolasi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.
Foto: EPA
Demonstran menunjukkan salam tiga jari dalam aksi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar pada 3 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Media Myanmar yang dikendalikan oleh junta mengumumkan larangan penerimaan televisi satelit pada Selasa (4/5). Mereka mengatakan, siaran dari luar dapat mengancam keamanan nasional dan siapapun yang tertangkap menayangkan siaran dari luar negeri, maka akan dijebloskan ke dalam penjara. 

"Televisi satelit tidak lagi legal. Siapa pun yang melanggar undang-undang televisi dan video, terutama orang yang menggunakan antena parabola, akan dihukum satu tahun penjara dan denda 500.000 kyat," kata televisi pemerintah MRTV.

Baca Juga

"Media ilegal menyiarkan berita yang merusak keamanan nasional, supremasi hukum dan ketertiban umum, dan mendorong mereka yang melakukan pengkhianatan," ujar MRTV menambahkan.

Sebagian besar akses internet seluler terputus sejak militer melakukan kudeta pada 1 Februari. Larangan televisi satelit semakin membuat Myanmar terisolasi. 

Kekerasan telah meningkat sejak kudeta. Pasukan keamanan, menggunakan kekuatan maksimal untuk menghadapi para demonstran. Milisi etnis juga mendukung penentangan terhadap junta.

Pada Senin (3/5), Tentara Kemerdekaan Kachin mengatakan telah menembak jatuh sebuah helikopter militer. Sementara Pasukan Pertahanan Chinland, milisi yang baru dibentuk di negara bagian Chin yang berbatasan dengan India, mengatakan di halaman Facebook-nya pada Selasa bahwa pasukannya telah menewaskan sedikitnya empat tentara Myanmar dan melukai 10 lainnya dalam bentrokan semalam.

Tentara Myanmar belum mengomentari klaim tersebut sejauh ini. Para pendukung pro-demokrasi mengadakan protes pada Selasa di kota terbesar kedua di Mandalay. Myanmar Now melaporkan, aksi protes dilakukan oleh staf pendidikan yang menyerukan boikot sekolah dan universitas. Selain itu, demonstran anti-kudeta berbaris di Kanbauk di Myanmar selatan.

Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 766 warga sipil sejak kudeta. Junta membantah angka tersebut dan mengatakan setidaknya 24 anggota pasukan keamanan telah tewas selama protes. Reuters tidak dapat memverifikasi korban karena pembatasan yang diberlakukan oleh junta terhadap media.  

Junta telah mencabut izin sejumlah grup media sejak kudeta. Hal itu di antaranya termasuk dua outlet berita di Kachin dalam beberapa hari terakhir, yaitu Myitkyina News Journal dan The 74 Media. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement