Ahad 02 May 2021 18:16 WIB

Merdeka Belajar Belum Sentuh Persoalan Kualitas Pendidikan 

Sejumlah episode merdeka belajar yang sudah diluncurkan terkesan parsial.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Sekolah Tatap Muka
Foto: republika/mgrol100
Ilustrasi Sekolah Tatap Muka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai program merdeka belajar yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) belum menyentuh persoalan riil sekolah, guru, dan kualitas pendidikan secara umum. Sejumlah episode merdeka belajar yang sudah diluncurkan terkesan parsial.

"Merdeka Belajar belum menyentuh persoalan riil sekolah, guru, dan kualitas pendidikan secara umum," ujar Dewan Pakar P2G Anggi Afriansyah dalam siaran persnya untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional 2021, Ahad (2/5). 

Baca Juga

Dia menerangkan, merdeka belajar sejak lahir sudah mengandung polemik ketika istilah merdeka belajar diklaim sebagai merek dagang sebuah perusahaan sekolah swasta. Setelah diprotes habis-habisan oleh pegiat pendidikan, istilah merdeka belajar akhirnya dihibahkan kepada negara. 

Kendati demikian, ada beberapa program yang patut diapresiasi dalam merdeka belajar, seperti penghapusan ujian nasional, relaksasi dan realokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang diperluas untuk siswa dan guru. Namun, Anggi menunjukkan, lebih dari 70 persen ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020.

Data BPS selanjutnya menujukkan, ada 20,10 persen sekolah pada jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air. Selain itu, tidak sampai 80 persen sekolah di setiap jenjang pendidikan memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Lalu 74,18 persen sekolah SMP tidak memiliki akses terhadap tempat cuci tangan. 

Kesenjangan angka partisipasi murni (APM) antardaerah perkotaan dan perdesaan juga masih besar, makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi pula kesenjangannya. "Begitu pula dengan rata-rata lama sekolah (RLS), masih di angka 8,90 tahun. Artinya rata-rata anak Indonesia bersekolah hanya sampai kelas sembilan SMP," kata Anggi. 

Tampak pula ketimpangan RLS di perdesaan yang hanya mencapai 7,66 tahun. Bank Dunia pada 2020 menyebutkan, tingkat pengetahuan guru Indonesia di bidang Matematika dan Bahasa Indonesia adalah rendah, masih di bawah standar minimum. 

Sedangkan untuk bidang Pedagogis justru skornya sangat redah, lebih parah dari Matematika dan Bahasa Indonesia. Anggi yang juga Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melanjutkan, uji kompetensi guru (UKG) masih di bawah standar minimum, skor di bawah 65 dari skala 0-100. 

Begitu pula dalam perolehan skor PISA, nilai Indonesia konsisten di bawah rata-rata negara OECD untuk 3 bidang, yakni literasi, matematika, dan sains. Lebih parah lagi untuk bidang literasi, skor Indonesia pada 2018 sama persis dengan pertama kali Indonesia ikut PISA 2000, yakni skor 371. 

"Anggaran digelontorkan sudah triliunan rupiah sejak tahun 2000, namun hasil PISA kita merosot. Kualitas pendidikan nasional kita tidak sedang baik-baik saja," tutur Hanifah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement