Sabtu 01 May 2021 21:26 WIB

Peneliti: Empat Hal Penyebab intoleransi di Dunia Pendidikan

Empati eksternal siswa dan mahasiswa Indonesia juga perlu ditingkatkan.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yunita Faela Nisa menuturkan, bahwa peran pendidikan agama perlu dioptimalkan untuk menangkal ujaran kebencian.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yunita Faela Nisa menuturkan, bahwa peran pendidikan agama perlu dioptimalkan untuk menangkal ujaran kebencian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yunita Faela Nisa menuturkan, bahwa peran pendidikan agama perlu dioptimalkan untuk menangkal ujaran kebencian. Empati eksternal siswa dan mahasiswa Indonesia juga perlu ditingkatkan karena mempengaruhi bagaimana memahami perasaan kelompok berbeda.

"Kami merangkum empat hal penyebab intoleransi di dunia pendidikan. Pertama, kemampuan empati internal dan eksternal yang perlu ditingkatkan oleh siswa dan guru-guru kita. Kedua, persepsi keterancaman yang tinggi, terutama terkait dengan faktor ekonomi. Ketiga, pandangan islam ekstrim pada beberapa guru kita. Untuk itu, kemampuan berpikir kritis dan reflektif perlu ditingkatkan. Keempat, faktor sosial dan ekonomi," ujar Yunita, dalam keterangannya, Sabtu (1/5).

Sementara itu, Wali Kota Salatiga Yuliyanto mengatakan, salah satu wujud toleransi itu adalah memberikan kesempatan untuk ibadah dengan penuh rasa damai. Selain itu, juga mengembangkan kemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa cinta. 

Salah satu upaya Salatiga untuk mendorong toleransi yakni memberikan ruang kepada seluruh masyarakat untuk beraktivitas dalam merayakan ibadahnya. Setiap tahun, semua pemeluk agama di Salatiga diberikan ruang untuk melaksanakan ibadah di lapangan dan melakukan karnaval di rute yang sama.

"Ini dilakukan sesuai dengan hari raya para warga masyarakat pemeluk agama masing-masing di kota Salatiga. Dan masyarakat pun sudah terbiasa dengan hari-hari perayaan agama dari setiap masing-masing agama. Ini adalah bentuk dari kepedulian pemerintah dalam memberikan ruang kepada seluruh pemeluk agama di Kota Salatiga," ujar Yuliyanto.

Dia menuturkan, bahwa dalam kurun waktu lima tahun (2015—2019) kota Salatiga mendapatkan kota paling toleran di Indonesia. Iklim toleransi diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan dengan tidak membedakan atau tidak mendiskriminasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement