Sabtu 01 May 2021 09:45 WIB

Perlu Definisi Khusus untuk Kelompok yang Terafiliasi KKB

Definisi khusus untuk menghindari generalisasi terhadap orang atau kelompok di Papua.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Anggota DPD RI dapil Papua Barat Filep Wamafma
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Anggota DPD RI dapil Papua Barat Filep Wamafma

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD RI dapil Papua Barat Filep Wamafma memandang pemerintah harus memberikan definisi khusus terkait dengan kelompok terafiliasi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang baru saja sebagai organisasi teroris. Menurutnya, hal tersebut diperlukan untuk menghindari generalisasi terhadap orang atau kelompok di Papua. 

"Sehingga tidak secara brutal menggeneralisasikan semua masalah di Papua itu atau menggeneralisasikan semua orang di Papua yang memanfaatkan ruang demokrasi yang memanfaatkan kebebasan menyampaikan pendapat itu kemudian dijustifikasi sebagai teroris," kata Filep kepada Republika, Jumat (30/4).

Baca Juga

Ia khawatir pelabelan KKB teroris  justru menjadi ancaman bagi para pegiat demokrasi yang menyuarakan persoalan-persoalan krusial di Papua. Menurutnya, ancaman tersebut juga dikhawatirkan akan dialami seorang wakil daerah dan wakil rakyat di jajaran parlemen yang menyuarakan persoalan daerah dapat dikategorikan sebagai tindakan teroris.

"Sebagai wakil daerah kami khawatir juga ketika kita memberikan pandangan-pandangan terkait dengan persoalan diskriminasi, persoalan pelanggaran HAM, persoalan rasisme dan persoalan-persoalan krusial di Tanah Papua, jangan-jangan kita sebagai wakil daerah pun disebut sebagai teroris," tegasnya.

Filep mengatakan, merujuk pada definisi terorisme yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa terorisme ialah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Dari pengertian tersebut, Filep menilai ada beberapa hal yang dapat dikaji,  antara lain pengertian tersebut mengandung makna bahwa dalam konteks terorisme, aspek politik, ideologi ataupun agama tidaklah semata-mata ditempatkan sebagai motif, tetapi sebagai tujuan. Menurutnya, hal itu harus dibedakan dari gerakan atau perjuangan pembebasan yang motifnya adalah politik.

"Perbedaan antara motif dan tujuan ini harus dibuktikan secara jelas. Bila memakai frasa ‘dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan’, maka penegak hukum akan kesulitan untuk membuktikan keseluruhan unsur motif tersebut," ucapnya.

Selain itu,  dirinya juga menyoroti terkait  frasa 'yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal' dalam pengertian tersebut. Frasa ini menurut Filep sangat kabur dan bias serta cenderung menimbulkan multitafsir.

"Belum lagi bila kategori ‘banyak’ itu dipersoalkan secara kuantitatif. Dalam hukum, ada asas lex certa, lex stricta, lex scripta. Hukum itu harus jelas dan tegas, tertulis, atau artinya tidak multitafsir. Hal ini berarti tindakan pelabelan terorisme terhadap organisasi tertentu, berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran penegakan hukum dan bisa jadi pelanggaran HAM baru," terangnya.

Berdasarkan kedua hal di atas, Filep memandang memberikan label teroris seharusnya diikuti dengan pendekatan hak asasi manusia (HAM) agar pemberantasan terorisme tidak sekadar mengedepankan aspek represif semata. Filep juga kembali menekankan pentingnya definisi dan klasifikasi yang jelas dan benar terkait orang ataupun kelompok yang berafiliasi dengan KKB dan dikategorikan sebagai teroris. 

Ia tidak menginginkan warga sipil di Papua menjadi korban-korban selanjutnya yang tidak berdosa. "Sekali lagi sebagai Senator Papua Barat, kami berharap kepada pemerintah untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan secara baik dan benar sehingga tidak lagi terjadi episode berikut pasca ditetapkan sebagai teroris muncul lagi korban-korban warga sipil yang tak berdosa," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement