Sabtu 01 May 2021 10:54 WIB

Di Balik Lockdown Kamboja: Digebuki atau Mati Kelaparan

Di Balik Lockdown Kamboja: Digebuki atau Mati Kelaparan

Rep: Mazoe Ford/ Red:
Di Balik Lockdown Kamboja: Digebuki atau Mati Kelaparan
Di Balik Lockdown Kamboja: Digebuki atau Mati Kelaparan

Pada tahun pertama pandemi COVID-19, Kamboja adalah salah satu negara yang patut ditiru dengan jumlah infeksi terendah di dunia.

Sekarang, negara di kawasan Asia Tenggara ini tidak hanya mencoba mengendalikan wabah yang paling serius, tetapi juga menghadapi krisis simultan, setelah puluhan ribu orang diisolasi dan kehabisan makanan.

Pemerintah Kamboja telah menyatakan daerah dengan kasus virus corona terbanyak sebagai "zona merah" dan melarang orang meninggalkan rumah mereka kecuali karena alasan medis.

Artinya, masyarakat di zona ini bahkan tidak diperbolehkan keluar untuk membeli makanan dan kebutuhan pokok lainnya.

Sebagian besar zona merah berada di ibu kota Phnom Penh dan kota terdekat Takhmao.

Banyak dari mereka yang melanggar aturan kemudian dipukuli dengan tongkat rotan atau ditangkap - tindakan yang disebut oleh polisi dilakukan "untuk menyelamatkan nyawa".

Persediaan makanan menipis

Pemerintah telah mendistribusikan paket bantuan berupa beras, kecap, kecap ikan, ikan kaleng dan air minum dalam kemasan, namun banyak yang tidak kebagian.

Rows of Cambodians in face masks stand in front of rice bags Photo: Beberapa orang Kamboja kelaparan karena lockdown membuat pasar makanan tutup, dan tidak ada cukup paket bantuan makanan dari pemerintah. Reuters: Cindy Liu

Naly Pilorge dari Liga Kamboja untuk Promosi dan Pertahanan Hak Asasi Manusia (LICADHO) mengatakan kepada ABC bahwa orang-orang ketakutan dan kelaparan.

Berdasarkan sensus 2019, dia memperkirakan hampir 300.000 orang tinggal di kawasan zona merah.

“Bukan hanya orang miskin yang seringkali diabaikan oleh masyarakat, kelas menengah juga kehabisan bahan pangan,” ujarnya.

"Ini tidak normal di negara dengan ukuran seperti Kamboja, di mana kita menanam makanan yang tidak bisa dimakan rakyat kita sendiri."

Naly mengatakan truk makanan tidak boleh masuk ke zona merah, pasar di dalam zona terpaksa ditutup, dan program makanan bantuan pemerintah tidak memadai.

"Paket makanan [dari pemerintah] tidak bergizi, juga sangat lambat untuk didistribusikan, dan yang paling penting, distribusinya sangat selektif," katanya.

Naly mengatakan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) belum diberi akses ke zona merah untuk mengirimkan paket makanan, tetapi telah melakukan apa pun yang mereka bisa untuk membantu masyarakat.

Angka infeksi tiba-tiba melonjak

Kamboja telah mengalami lebih dari 11.700 infeksi COVID-19 dan hampir 90 kematian sejak dimulainya pandemi.

Jumlahnya rendah dibandingkan dengan negara lain, tetapi wabah yang baru pecah ini adalah yang paling serius dan telah menyebar dengan cepat.

Pihak berwenang mengatakan, lonjakan kasus ini dimulai di komunitas ekspatriat China pada akhir Februari, sebelum jumlah kasus membengkak bulan ini.

Varian virus corona Inggris B117 telah terdeteksi di Kamboja, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan negara itu di ambang "tragedi nasional".

Pada awal April, jumlah kasus harian di Kamboja tercatat hanya beberapa saja, tapi kini selama seminggu terakhir telah naik menjadi lebih dari 500 kasus sehari.

Kemarin tercatat 880 infeksi harian.

Sebuah grup Telegram Pemerintah yang dibuat baru-baru ini untuk orang-orang yang mencari bantuan makanan darurat telah menerima ribuan permintaan, dan orang-orang juga telah pergi ke media sosial dengan cerita tentang keputusasaan.

"Kami telah menerima pesan dari semakin banyak orang yang membandingkan situasi saat ini dengan periode Khmer Merah," kata Nally.

"Kekerasan, kurangnya makanan, diskriminasi terhadap orang miskin, kurangnya tanggung jawab perusahaan untuk membayar karyawan jika mereka di-PHK atau tidak lagi dapat bekerja, dan sebagainya."

Khmer Merah adalah rezim yang memerintah Kamboja dari tahun 1975 hingga 1979, di bawah kepemimpinan diktator Pol Pot.

Dalam empat tahun, dua juta orang meninggal karena kelaparan, kerja terlalu berat, penyakit atau dieksekusi.

Hanya tersisa sekotak telur lagi

ABC telah berbicara dengan beberapa orang di-lockdown, yang setuju beberapa pembatasan komunitas adalah ide yang baik, tetapi sekarang khawatir penguncian yang ketat akan menyebabkan kelaparan.

Ayah tiga anak Man Vaesna, 37 tahun, mengatakan bahwa pekan lalu satu-satunya makanan yang tersisa bagi keluarganya adalah 10 butir telur.

"Saya khawatir… karena kami menunggu makanan dari Pemerintah dan mereka sangat terlambat memberi kami makanan."

 

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement