Jumat 30 Apr 2021 09:51 WIB

Beratnya Puasa Ramadhan Bagi Pengungsi Afganistan di Jakpus

Semua pengungsi Afganistan yang tidur di trotoar depan kantor UNHCR tidak puasa.

Rep: Febryan A/ Red: Erik Purnama Putra
Pengungsi tiduran di trotoar depan kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat Rabu (28/4) sore WIB.
Foto: Republika/Febryan A
Pengungsi tiduran di trotoar depan kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat Rabu (28/4) sore WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, Sepanjang Ramadhan tahun ini, tak sekalipun Mukhtar berpuasa. Ia sebenarnya ingin menunaikannya, tapi kondisinya tak memungkinkan.

"Aku sekarang tidak puasa, tapi sampai sekarang belum makan. Lapar. Hanya minum tadi sedikit," kata Mukhtar Ghaibi, seorang pengungsi asal Afghanistan saat ditemui di depan kantor Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat Rabu (28/4) sore WIB.

Mukhtar sudah 20 hari tinggal di trotoar di depan gedung UNHCR. Bersama istri dan satu anaknya, Mukhtar terpaksa tidur di sana karena tak lagi punya uang. Dengan tidur di sana, ia juga berharap UNHCR segera memberikan penempatan kembali (resettlement) ke negara ketiga.

Di atas trotoar itulah, Mukhtar dan puluhan pengungsi lainnya hidup bermodalkan tikar plastik dan sejumlah tenda. Siang hari kepanasan, kalau malam mereka habis digigit nyamuk. "Tidak pernah puasa sejak di sini karena tidak kuat. Di sini panas sekali. Kalau malam banyak nyamuk jadi tidak bisa istirahat," kata laki-laki 50 tahun ini.

Pada Rabu dini hari WIB, hujan yang mengusiknya. Mukhtar sedang tidur di atas tikar plastik bersama keluarganya ketika hujan tiba-tiba mengguyur. Badannya basah kuyup. Baju-baju di dalam tas ikut lembab.

Baca juga Nostalgia Tradisi Ramadhan di Lebanon yang Terhalang Covid

"Kita semua selamatkan barang saat hujan itu. Jadi tidak sempat sahur. Kami juga kurang istirahat," katanya menggunakan bahasa Indonesia dengan terbata-bata. Kalau pun sempat, Mukhtar tak punya cukup uang untuk membeli makanan sahur.

Siang harinya, Mukhtar hanya minum air putih dan duduk atau tiduran di atas tikar plastiknya. Itu adalah caranya bertahan dari terpaan terik matahari sedari pagi hingga senja.

"Dulu waktu saya masih tinggal di Afganistan dan ketika tinggal di kontrakan di Bogor, saya dan keluarga selalu berpuasa," ujar Mukhtar.

Mukhtar sudah enam tahun jadi pengungsi di Indonesia. Perjalanannya dimulai karena perang saudara yang tiada henti di kampung halamannya di Kota Maidan Shar, Provinsi Wardak, Afghanistan tengah.

Tak lagi kuat hidup di tengah perang saudara yang banyak merenggut nyawa keluarganya, Mukhtar muda memutuskan pindah ke Iran sekitar tahun 1990. Ia di sana bekerja di pabrik sepatu, hingga akhirnya dideportasi pemerintah Iran sekitar enam tahun lalu.

Mukhtar dipulangkan ke Afghanistan. Tapi, ia tak kembali ke Kota Maidan Shar. Perang baru antara Taliban dan militer Amerika Serikta sedang berkecamuk. Mukhtar tak ingin mati sia-sia. "Saya tidak terpikir untuk tinggal di Afganistan lagi karena tidak aman. Siang malam selalu perang. Ada Taliban, Daesh (ISIS), Amerika."

Ketika dideportasi, ia hanya singgah sebentar di ibu kota Afganistan, Kabul. Ia mengurus paspor lalu segera bertolak menuju Indonesia menggunakan pesawat. Kehidupannya sebagai pencari suaka lalu sebagai pengungsi dimulai.

Sebagai pengungsi, Mukhtar tak bisa bekerja di Indonesia. Ia pun menggantungkan hidup dari tabungan dan kiriman dari sang mertua di Afghanistan. Ia mengontrak sebuah rumah sederhana di Bogor, Jawa Barat.

Meski hidup seadanya di Bogor, tapi Mukhtar masih bisa berpuasa jika Ramadhan tiba. Setelah enam tahun berlalu, tabungan habis dan mertuanya tak lagi mengirimkan uang. "Sekarang mereka sudah tua, jadi tidak bisa kirim uang lagi," ucapnya.

Tak lagi sanggup membayar kontrakan, Mukhtar akhirnya tinggal di depan kantor UNHCR. Ia tinggal di sana bersama puluhan pengungsi lainnya. "Hampir semua yang tinggal di sini tidak ada yang puasa. Berat kalau puasa," kata Mukhtar.

Pengungsi lainnya, Zulfikar (22), juga mengaku tak pernah berpuasa sejak tinggal di trotoar depan kantor UNHCR. Laki-laki asal Afghanistan ini sudah dua bulan tidur di pinggir jalanan protokol Ibu Kota itu.

"Saya puasa susah karena ribut terus dengan sekuriti UNHCR. Susah juga puasa karena badan kotor. Tidak bisa juga shalat karena kamar mandi umum jauh dan bayar," kata Zul dalam bahasa Indonesia yang cenderung jelas.

Zul sudah tujuh tahun tinggal di Indonesia. Ia juga pergi dari Afghanistan karena perang. "Banyak keluarga saya yang mati karena perang. Kalau bukan karena perang, siapa yang mau tinggalkan negaranya sendiri," ujarnya.

Baik Zul dan Mukhtar kini berharap bisa segera ditempatkan di negara ketiga. Entah itu Amerika Serikat atau Australia, bagi mereka tak jadi soal. Yang terpenting bagi mereka adalah bisa bekerja kembali dan menyekolahkan anak. Singkatnya: hidup normal.

Tapi mereka tak tahu kapan resettlement akan didapatkan. Untuk sementara waktu, mereka berharap ada orang baik yang mau mengulurkan tangan. Setidaknya untuk makan.

Mukhtar masih juga belum makan pada Rabu pukul 15.00 WIB. Padahal ia tak berpuasa. Dengan suara lirih, Mukhtar mengaku sedang menanti ada yang berderma memberikan makanan. "Nanti makan Magrib saat ada yang kasih. Kita senang di sini orang Muslim semua, jadi makanan halal," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement