Jumat 30 Apr 2021 06:14 WIB

Buat Apa Ada Larangan Mudik tanpa Aturan Eksplisit

Masyarakat yang sudah mudik dini sebelum 6 Mei berpotensi picu kenaikan kasus Covid.

Sejumlah calon penumpang berjalan keluar di Stasiun Kiaracondong, Kota Bandung, Kamis (29/4). Pada H-7 jelang peniadaan mudik lebaran 2021, jumlah penumpang menuju arah Jawa Tengah dan Jawa Timur di Stasiun Kiaracondong mengalami peningkatan sebesar 30 persen atau mencapai 475 penumpang dibandingkan dengan hari sebelumnya. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah calon penumpang berjalan keluar di Stasiun Kiaracondong, Kota Bandung, Kamis (29/4). Pada H-7 jelang peniadaan mudik lebaran 2021, jumlah penumpang menuju arah Jawa Tengah dan Jawa Timur di Stasiun Kiaracondong mengalami peningkatan sebesar 30 persen atau mencapai 475 penumpang dibandingkan dengan hari sebelumnya. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Haura Hafizah, Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri

Upaya untuk memperketat masyarakat kembali ke kampung halaman sudah dilakukan pemerintah. Tanpa adanya larangan serta sanksi, imbauan pemerintah terkait mudik dinilai akan sia-sia. Akibatnya, Indonesia berpotensi kembali akan bertemu dengan lonjakan kasus Covid-19.  

Baca Juga

Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo, menilai, kebijakan pemerintah yang tidak eksplisit melarang mudik membuat masyarakat mencari celah untuk tetap bisa pulang kampung. "Meski sudah ada adendum surat edaran (SE) nomor 13 tahun 2021, tetapi di surat itu kan tidak ditulis dilarang mudik selama 22 April hingga 17 Mei. Redaksinya hanya memperketat syarat perjalanan, sehingga pemudik tetap pergi karena yang diperketat syaratnya saja," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (29/4).

Ia menambahkan, surat tersebut jadi celah karena masyarakat bisa berpikir, mumpung belum dilarang maka pulang kampung dilakukan sekarang. Faktanya, kini sudah banyak masyarakat yang pulang kampung.

Terkait aparat TNI/Polri sudah membuat posko-posko di lebih dari 300 titik, Windhu menganalisa pemudik pasti mencari celah dan punya cara. Mereka akan mudik karena sudah membulatkan tekad ingin pergi mudik, entah ingjn bersilaturahmi atau piknik.

Bahkan, Windhu memperkirakan jumlah pemudik tahun ini lebih banyak dibandingkan tahun lalu. Sebab, jika tahun lalu masih bisa menahan diri, tetapi tahun ini memutuskan harus pulang. Padahal baginya, tidak ada mudik yang aman. Windhu menegaskan tidak ada mudik tanpa risiko.

"Selama masih ada virus maka tidak pernah ada keamanan ketika melakukan perjalanan. Perjalanan akan berisiko, baik itu kita yang menulari atau kita yang tertular," katanya.

Sebab, dia menjelaskan, tujuan masyarakat mudik adalah untuk berinteraksi. Sedangkan di masa belum aman seperti saat ini maka bisa terjadi penularan virus. Windhu mengingatkan jangan sampai Indonesia jadi seperti India. Ia menjelaskan, kasus Covid-19 di negara Bollywood itu melonjak karena penduduknya berinteraksi bersama mengikuti kampanye pemilihan umum, kemudian mengikuti festival keagamaan.

"Sementara di Indonesia ini akan ada mudik sebagai peristiwa sosial budaya yang berbasis pada keagamaan, jadi mirip," katanya.

Baca juga : Ganjar Minta Warga Jateng tak Tanggapi Isu-Isu tak Penting

Terkait mudik dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes), Windhu meragukannya. Menurutnya, sekarang saja prokes sudah tidak dipatuhi lagi. Bahkan ia mengutip hasil survei yang mengatakan kepatuhan menjalankan prokes makin memburuk yaitu menjaga jarak tinggal 40 persen per Desember 2020 hingga Januari 2021 lalu.

Ia memprediksi kepatuhan pasti semakin menurun karena bosan, hingga merasa euforia karena sudah ada vaksin. Meski pemerintah mengimbau tetap patuhi protokol kesehatan, Windhu menilai upaya itu tak berdampak banyak. Ia menyontohkan kasusnya sama seperti india.

"Pemerintah India mengatakan boleh pergi untuk festival keagamaan di Sungai Gangga tetapi jaga protokol kesehatan, boleh ikut kampanye tetapi lakukan protokol kesehatan tapi kasusnya tetap melonjak. Itu karena pemerintah merelaksasi," katanya.

Ia meminta pemerintah Indonesia secara eksplisit mengatakan dilarang mudik tanpa ada pengecualian. Artinya, dia melanjutkan, narasi pemerintah bukan pengetatan perjalanan, membiarkan tempat wisata tetap dibuka. "Bukan mengantisipasi bagaimana kalau ada lonjakan kasus usai mudik. Jadi, negara jangan reaktif, pemerintah harus pro aktif," katanya.

Kalau mudik masih terjadi, Windhu memperkirakan kasus akan melonjak dua pekan setelah Lebaran. Diperkitakan kasus akan bertambah di akhir Mei 2021. Ujung-ujungnya, dia melanjutkan, tentu fasilitas kesehatan (faskes) akan terbebani. Oleh karena itu, Windhu meminta masyarakat jangan pulang dulu, menahan diri. Sebab, kondisi masih tidak aman, kasus harian Covid-19 masih stagnan.

"Polanya seperti di banyak negara, kasusnya tidak turun. Maka harus diwaspadai kasus bisa meningkat," ujarnya.

Pakar Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, meminta pemerintah memberikan informasi yang konsisten ke masyarakat tentang pandemi. Informasi yang inkonsisten membuat masyarakat bingung bersikap, bahkan cenderung merasa tidak sedang dalam masa pandemi.

Kemudian, ia melanjutkan pemerintah jangan sampai memberikan informasi yang tidak konsisten kepada masyarakat tentang pandemi Covid-19. Sebab, jika itu terjadi masyarakat bingung dan merasa tidak terjadi apa-apa di pandemi seperti ini.

"Ya seperti mudik. Sebenarnya, itu bagaimana mengatasinya di pandemi seperti ini? Karena pemerintah juga tidak konsisten, masyarakat pun cuek saja tetap mudik. Ini yang membuat pencegahan virus Covid-19 semakin rumit di Indonesia," kata dia, kepada Republika, dikutip Jumat (30/4).

Contoh lainnya, sebelum Covid-19 masuk Indonesia pejabat pemerintah memberi informasi cuaca panas bisa membunuh virus Covid-19. Padahal Dicky mengatakan itu tidak benar.

Menurutnya, cuaca tidak ada hubungannya dengan virus Covid-19. Hujan maupun panas, virus tersebut masih ada. Sehingga masyarakat diimbau tetap terapkan protokol kesehatan. Tidak berkerumun dan tetap disiplin memakai masker.

Baca juga : Polda Metro: Persiapan Penyekatan Mudik Sudah 80 Persen

"Pejabat publik kalau menyampaikan informasi harus sesuai ilmiah. Jangan asal kasih tahu ke masyarakat. Lalu, saat ini juga terdapat ketidaksetaraan dalam respons pandemi antar sektor dan program. Tentu hal ini akan berdampak selain tidak maksimal memberikan dampak jangka panjang. Tidak adanya sinergi membuat virus Covid-19 di Indonesia sulit diatasi," kata dia.

Ia berharap Indonesia tidak seperti India. Ia menyarankan agar pemerintah melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh keagamaan khususnya dalam menghimbau agar tidak ada aktivitas mudik jelang lebaran. “Jangan sampai kasus Covid-19 naik lagi dengan meningkat. Lebih baik tracing lebih dini daripada menurun tapi tiba-tiba naik secara drastis,” kata dia.

Bicara India, Dicky menegaskan pula pentingnya pemerintah melakukan pengetatan karantina. Terutama di masa mudik Lebaran seperti saat ini.

"Salah satu strategi yang efektif di pandemi seperti ini adalah isolasi karantina. Jika isolasi karantina dilakukan secara optimal maka bisa memutus rantai virus Covid-19. Lalu, kesadaran 3T dan 5M juga harus ditingkatkan. Masyarakat harus percaya Covid-19 ini adalah penyakit yang bisa membunuh seseorang sampai meninggal," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement