REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Tidak ada bukti yang mengaitkan kematian dua warga Australia dengan dosis vaksin COVID-19 yang mereka terima. Berdasarkan lapiran Kepala Regulator Obat Australia pada Kamis (29/4), kematian di negara bagian terpadat New South Wales (NSW) terjadi beberapa hari setelah mereka divaksin.
Menurut saluran TV Seven News, salah satu penerima vaksin AstraZeneca berusia 71 tahun dengan sejumlah penyakit bawaan. Satu lagi, berusia 55 tahun, meninggal dalam waktu delapan hari pascavaksinasi, tulis surat kabar di Kota Tamworth, mengutip keluarganya. Akan tetapi, bukti tersebut tidak memperlihatkan adanya kaitan dengan vaksinasi COVID-19.
"Bukti saat ini tidak menunjukkan ada kemungkinan kaitan," kata kata John Skerritt, kepala Therapeutic Goods Administration (TGA), dilansir dari reuters, Kamis.
"Sayangnya, kami harus ingat bahwa, setiap pekan 3.000 orang di Australia meninggal dengan berbagai sebab," tambahnya.
Dengan 29.700 lebih infeksi dan 910 kematian sejak awal pandemi, Australia sebagian besar berhasil menghindari angka tinggi dibandingkan negara maju lainnya. Namun peluncuran vaksinasi di negara itu mengalami sejumlah hambatan.
Australia menggunakan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca dan Pfizer. Namun otoritas pada April ini membatalkan target untuk menjangkau hampir 26 juta penduduk hingga akhir 2021 setelah menemukan kemungkinan kaitan antara vaksinAstraZeneca dan pembekuan darah.
Australia membatasi vaksin AstraZeneca pada usia di atas 50 tahun sehingga mengacaukan program vaksinasi. Sebab, otoritas mengandalkan produk AstraZeneca untuk mayoritas vaksinasi.
Dua pekan lalu, Australia melaporkan kematian pertama akibat pembekuan darah yang terkait dengan vaksin, setelah regulator obat menyebutkan bahwa kematian perempuan berusia 48 tahun "sepertinya" terkait dengan vaksin. Lebih dari dua juta dosis vaksin telah diberikan hingga Kamis, jauh dari empat juta yang dijanjikan pada akhir Maret.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
