Kamis 29 Apr 2021 19:09 WIB

Revitalisasi Hukum Merujuk Pancasila-Bhinneka Tunggal Ika

Pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika diperlukan

Pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika diperlukan. Sanksi hukum / ilustrasi
Foto: IST
Pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika diperlukan. Sanksi hukum / ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Gagasan revitalisasi pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mendesak diimplementasikan. Revitalisasi yang dimaksud adalah memastikan kedudukan Pancasila sebagai cita hukum dipedomani oleh semua pihak mulai dari pembentukan hukum, termasuk pelaksanaan dan penegakan hukum. 

“Dengan revitalisasi ini maka Pancasila akan dijadikan sebagai paradigma dalam berhukum oleh segenap bangsa Indonesia,” kata Ketua Pokja Hukum Panitia Nasional Kongres IV PA GMNI, Dr Bayu Dwi Anggono, di Jakarta, Kamis (29/4). 

Baca Juga

Dia menilai, banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak selaras dengan tujuan negara ini. Padahal sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sudah semestinya dalam setiap pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berdasarkan hukum. 

“Hukum menjadi sarana untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana juga dicantumkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu menuju masyarakat yang berkeadilan sosial,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember tersebut. 

 

Dia mengatakan, pembangunan nasional tidak dapat mencapai tujuan bernegara jika tidak disertai adanya suatu politik hukum yang jelas dan terarah. Dalam konteks Indonesia, politik hukum yang jelas dan terarah adalah politik hukum yang bersumber pada Pancasila. Tanpa adanya politik hukum yang jelas dan terarah maka dipastikan, banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. 

“Selama ini masih saja ditemukan keluhan dari warga tentang peraturan perundang-undangan, yang dibentuk mengandung muatan diskriminatif dengan tidak mengingat keragaman bangsa Indonesia yang berbhinneka tunggal ika,” kata Bayu Anggono. 

Dia menyebut banyaknya perkara ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sejak berdiri 2003, adalah bukti yang nyata bahwa Pancasila belum menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. 

Sampai dengan sekarang, MK telah memutus 3.075 perkara. Sebagian terbesar adalah perkara pengujian undang-undang sebanyak 1.392 perkara, yaitu sekitar 43 persen dari seluruh perkara yang sudah diputus. Namun, tidak sepenuhnya putusan permohonan pengujian undang-undang tersebut dikabulkan. MK hanya mengabulkan sekitar 267 permohonan, sedangkan yang ditolak ada 498 permohonan.   

Atas dasar inilah, pihaknya akang menghelat Webinar Nasional II bertajuk “Revitalisasi Pembangunan Hukum Berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.”  Perhelatan ini akan dilaksanakan secara virtual pada Jumat, 30 April 2021, pukul 15.00-17.30 WIB. Webinar ini merupakan rangkaian kegiatan Pra Kongres IV PA GMNI yang akan digelar di Bandung, Juni 2021.  

Bertindak sebagai narasumber dalam Webinar Nasional III tersebut adalah Prof Dr Arief Hidayat (hakim Mahkamah Konstitusi/alumnus GMNI Undip), Prof Dr Jamal Wiwoho (rektor Universitas Sebelas Maret/UNS Surakarta), Prof Dr Benny Riyanto (kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM/alumnus GMNI Undip), dan Prof Dr Dominikus Rato (guru besar Hukum Kemasyarakatan FH Universitas Jember/alumnus GMNI Jember).

Webinar ini juga diawali sambutan pembukaan oleh Wakil Ketua MPR RI yang juga Ketua Umum DPP PA GMNI, Dr Ahmad Basarah. Peminat dapat mendaftar di link registrasi http://bit.ly/PAGMNIWebinar04, atau mengikuti streaming lewat kanal YouTube Kabar Alumni GMNI, TV Desa, Facebook Kabar Alumni GMNI dan tayangan langsung serta informasi terkait bisa mengakses laman www.infokongres.com/.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement