Jumat 30 Apr 2021 02:27 WIB

PBB: Pemerkosaan Jadi Alat Politik dan Militer di Tigray

PBB menyamakan kondisi Tigray dengan Myanmar pada 2017

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nur Aini
 Orang-orang Tigray yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia, tiba dengan bus di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur, Kamis, 26 November 2020. Perdana menteri Ethiopia mengatakan Kamis bahwa tentara telah diperintahkan untuk bergerak di Tigray yang diperangi ibu kota regional setelah ultimatum 72 jamnya berakhir agar para pemimpin Tigray menyerah, dan dia memperingatkan setengah juta penduduk kota untuk tetap di dalam rumah dan melucuti senjata.
Foto: AP/Nariman El-Mofty
Orang-orang Tigray yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia, tiba dengan bus di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur, Kamis, 26 November 2020. Perdana menteri Ethiopia mengatakan Kamis bahwa tentara telah diperintahkan untuk bergerak di Tigray yang diperangi ibu kota regional setelah ultimatum 72 jamnya berakhir agar para pemimpin Tigray menyerah, dan dia memperingatkan setengah juta penduduk kota untuk tetap di dalam rumah dan melucuti senjata.

REPUBLIKA.CO.ID, TIGRAY -- Kepala Urusan Kemanusiaan PBB, Mark Lowcock mengatakan pada Selasa (28/4), pemerkosaan dan kekerasan seksual di Tigray, Ethiopia digunakan untuk mengejar tujuan politik dan militer yang dilanda krisis. Dalam sambutannya kepada Dewan Keamanan PBB tentang perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata, Lowcock mengatakan peristiwa tersebut sama yang terjadi di Myanmar.

Di sana, pemerkosaan sengaja digunakan untuk memaksa ratusan ribu orang Rohingya keluar dari negara tersebut pada 2017. Perempuan yang menjadi korban pemerkosaan diatur secara sistematis oleh laki-laki berseragam di depan keluarga dan anak-anak.

Baca Juga

“Itu juga yang kami lihat dalam enam bulan terakhir di Ethiopia utara. Pemerkosaan di sana belum berhenti. Pemerkosaan jelas terlihat teroganisir, ditargetkan, dan berbasis etnis. Tak hanya itu, mereka meneror, menghina, dan brutal,” kata Lowcock, dilansir Middle East Monitor, Kamis (29/4).

Wilayah Tigray menjadi sorotan internasional sejak 4 November lalu ketika adanya operasi penegakan hukum besar-besaran terhadap Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF). Pada 3 November 2020, pasukan TPLF menyerang Komando Utara pasukan pertahanan Ethiopia yang ditempatkan di negara bagian regional Tigray, termasuk di ibu kota Mekele. Insiden tersebut menewaskan tentara dan menjarah perangkat keras militer yang cukup besar.

Pada 28 November, Perdana Menteri Abiy Ahmed mengakhiri operasi militer tapi terkadang pertempuran terus berlanjut di negara bagian itu. Ratusan ribu orang mengungsi dan lebih dari 60 ribu orang melarikan diri ke negara tetangga Sudan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement